Minggu, 13 Desember 2009

Fakta-fakta dalam Pandaya Sriwijaya

sebelumnya saya ngin komentar tentang bentuk fisik buku pandaya sriwijaya.

pertama kali melihat file cover novel ke22 ini, saya langsung jatuh cinta. sangat keeerenz. walo beberapa temen berkomentar cover gak matching dengan masa sriwijaya yang sebenarnya. malah ada yang bilang berbau korea, tapi yang pasti saya. jadi gak perlu terlalu diberdebatkan lagi soal ini, hehe… lalu harganya yang 53 rebu pun saya pikir gak mahal2 amat. walau layout dalamnya terasa padat. beberapa kalimat yang seharusnya dipisahkan sebuah baris kosong, disatukan begitu saja. tapi demi harga yang ekonomis, ini jadi gak masalah…

soal fakta2 di pandaya sriwijaya, tak saya pungkiri bila pandaya sriwijaya memang hanyalah kisah fiksi penuh imajinasi. sejarah hanya menjadi latar dalam keseluruan cerita. ini bisa dimaklumi mengapa jarang ada penulis yang mengutak-atik sriwijaya karena memang datanya tidaklah banyak. namun walau begitu saya tetap berpatokan pada sebuah kisah di salah satu prasasti yang terbaca lengkap. kisah tentang sebuah pemberontakan Kandra Kayet dan tewasnya Panglima Tandruh Luah. kisah pandaya sriwijaya saya ambil 2 generasi setelah itu... cuma ada yang beda dari naskah aslinya.

pihak penerbit memakai catatan kaki. padahal saya paling sebel dengan buku2 penuh catatan kaki. ribet. namun itu bisa diterima. yang jadi masalah beberapa narasi terlupa di beri catatan kaki. misalnya :

1. deskripsi sambau sriwijaya. walau terkesan fiksi tapi deskripsi itu saya ambil dari mengamati pahatan di candi borobudur tentang perahu yang digunakan sriwijaya.

2. beberapa prasasti yang saya ambil semua teksnya juga tak disebutkan nama prasastinya. Bahkan di sebuah bab ada sebuah prasasti yang saya kutip secara utuh. disini saya mengutipnya dari buku SRIWIJAYA tulisan Dr, Slamet Muljanta. Saya pikir hampir semua data tentang buku ini berdasarkan penelitian beliau.

3. beberapa narasi tentang meditasi pun tak ada catatan kakinya, sehingga terkesan itu fiksi. padahal semuanya saya petik dari buku ajaran budha dan zen. Terutama buku Simple Budha.

4. perkataan2 biksu wang lebih banyak saya ambil dari buku Zen for begginer dan Kisah-kisah Kebajikan tulisan bodhisatwa.

5. Selain itu tentunya om wiki selalu menjadi asisten pribadi saya. misalnya untuk tulisan sejarah mie, sejarah cermin, sejarah bakmi, dan lain-lainnya...

ya saya rasa itu saja yang masih mengganjal. namun secara keseluruhan buku ini oke… dan saya senang…

bab 9 : Lelaki Gila dengan Guratan Peta Di punggungnya

9
Lelaki Gila dengan Guratan Peta Dipunggungnya

Muara Air Gala merupakan tanah yang terbentuk dari salah satu muara Sungai Musi. Dulunya ia merupakan daerah rawa yang telah mengering. Beberapa keluarga dari selatan, kemudian mencoba meninggalinya dan bercocok tanam di situ. Puluhan tahun kemudian, keadaan Muara Air Gala pun perlahan-lahan berubah. Hingga kini menjadi tanah yang ramai dan cukup maju. Satu ciri khas dari Muara Air Gala ini adalah buah-buahannya yang melimpah. Di pasar yang ada di pusat datu, banyak pedagang menggelar dagangan buah. Posisinya yang terlihat dari arah pantai, membuat beberapa orang yang tengah melintas, kemudian menyambanginya. Inilah yang kemudian membuat pasar Muara Air Gala menjadi pasar yang teramai disepanjang pantai timur Sriwijaya. Para pedagang biasanya akan menggunakan semacam kain yang telah usang sebagai alas dagangan mereka. Walau kepeng emang dan kepeng perak telah berlaku disana, namun penjualan dan pembelian secara tukar-menukar masih sangat lazim terjadi. Maka itulah, baru beberapa purnama lalu, Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu, kemudian memilihnya sebagai salah satu daerah perdatuan Sriwijaya. Setiap hari, keramaian yang dimulai jauh sebelum matahari muncul, semakin bertambah dan terus bertambah. Seperti pagi ini. Beberapa pedagang sudah mulai terlihat sibuk menurunkan barang-barang dagangan mereka dari tepi pantai. Namun ada yang berbeda di hari ini. Para pedagang yang datang paling pagi, dikejutkan dengan munculnya seorang lelaki tanpa pakaian, yang hanya diam duduk di dekat undak-undakan batu, yang menjadi tempat sesembahan para pagan. Tak ada yang tahu dari mana orang itu muncul. Sehari sebelumnya belum ada seorang pun penduduk yang melihat kemunculannya. Seiring munculnya sinar matahari, penduduk mulai bisa mengamati dengan jelas. Lelaki itu berambut panjang dan nampak tak terawat. Tubuhnya begitu kotor dan sangat kurus, hingga tulang-tulang perutnya begitu jelas terlihat. Ia sama sekali tak mengganggu. Hanya duduk diam, sambil menutup matanya dalam posisi bersila. Maka itulah, awalnya orang-orang menyangka lelaki itu sedang melakukan meditasi. Namun melihat ketelanjangannya, mereka pun menyimpulkan kalau orang ini adalah orang gila! Beberapa orang kemudian berusaha mengusirnya. Namun orang gila itu sama sekali tak bergeser sedikit pun. Ia tetap duduk di situ, sambil memejamkan mata, tak hirau akan apapun. Akhirnya seseorang penduduk berinisiatif memanggil beberapa prajurit yang ada diperdatuan mereka. Tak lama kemudian, dua orang prajurit dengan tombak di tangan, segera mendekatinya. “Minggir!” seorang mendorong lelaki itu dengan kakinya. Tapi lelaki gila itu tetap bergeming. “MINGGIR!” prajurit itu berteriak makin keras, diiringi tendangannya yang penuh tenaga. Kali ini lelaki gila itu terdorong. Ia jatuh, dan matanya pun terbuka. Tiba-tiba dirinya yang semula tenang, mendadak terlihat begitu ketakutan. Tubuhnya terlihat menggigil. Giginya bergemeretak sedemikan kerasnya, hingga beberapa penduduk yang ada disitu pun dapat mendengar gemeretakannya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya mundur menjauhi dua prajurit itu. Sesaat dua prajurit dan para penduduk disitu hanya bisa memperhatikannya. Namun prajurit yang tadi menendangnya, kembali mendekatinya. “Pergi dari sini!” ujarnya sambil kembali mendorong dengan kakinya. Orang gila itu kembali terjatuh. Kali ini tubuhnya hingga mengkurap di tanah. Dan ketika prajurit itu akan kembali mendorongnya, rekannya yang sejak tadi diam, menghentikan gerakannya. Tiba-tiba ia melangkah, dan duduk di dekat tubuh lelaki gila yang telungkup itu. Matanya seakan melihat sesuatu di punggung lelaki gila itu. Namun kotoran yang memenuhi punggung itu mengaburkannya. “Ada apa?” temannya ikut mendekati, dengan tak mengerti. “Ambilkan air!” prajurit itu malah berteriak. Seseorang penduduk yang berdiri memegang kendi air dari ruas bambu, segera menyodorkannya. Prajurit itu pun segera mengguyur punggung lelaki gila itu. Lalu ia segera membasuhnya dengan tangannya… “Ini… seperti sebuah peta…” temannya berucap tak yakin. Prajurit itu kembali memperhatikan dengan seksama. Matanya memicing. Sebuah kata kemudian terbaca oleh matanya : Bajak Laut. Lalu sebuah kata panjang, sama sekali tak terbaca. Namun satu kata terakhir dapat dibacanya kembali : Karang. Ia menelan ludah, “Bajak Laut… Karang?” ia berpikir mencoba mencari kata yang ada di tengah. Namun detik itu, matanya membulat. Jelas sekali bila ia teringat sesuatu. “Bajak Laut.. Semenanjung… Karang?” desisnya tak percaya.

*****

Namanya bukanlah sesuatu yang penting, seperti juga keberadaannya yang tidaklah penting. Ketika lelaki gila itu dibawa berkeliling desa, tak ada seorang pun yang mengenalinya. Ia seakan terlupa bila pernah dilahirkan di bhumi ini. Namun andai dirinya yang selalu memandang penuh ketakutan itu bisa bercerita, ia pastilah akan bercerita tentang ketakutannya pada malam itu. Di saat, secara mengejutkan sembilan atau sepuluh buah perahu, yang entah datang dari mana, tiba-tiba telah mengepung sambau tuannya. Ia bukan prajurit di kapal itu. Seumur hidupnya ia bahkan tak pernah memegang pedang. Yang dilakukannya hanya melayani tuannya yang menjadi Panglima Muda di kapal itu. Lalu kegaduhan pun terjadi saat orang-orang di perahu-perahu kecil itu berusaha naik ke sambau tuannya. Ketakutannya memuncak. Ia mencoba bersembunyi di balik kotak-kotak kayu milik tuannya. Namun itu sama sekali tak menghilangkan ketakutannya. Kegaduhan malah makin terasa dekat. Ia bisa merasakan orang-orang dari perahu-perahu itu telah berada di kapal tuannya. Ia juga merasakan teriakan-teriakan penuh kematian, juga suara angin dari ayunan puluhan pedang. Sungguh, ia bisa merasakan itu semua. Namun yang membuatnya semakin ketakutan adalah bau darah yang begitu tajam, hingga mengalahkan bau laut yang sudah begitu diakrabinya hari-hari terakhir ini. Ia pun terkencing-kencing karena ketakutan itu… Kapal tuannya tiba-tiba terbakar. Namun sampai lama ia tetap bersembunyi di situ, tanpa bergerak dan hanya bernapas pendek. Seakan bunyi napasnya dapat terdengar orang-orang disekelilingnya. Sampai lama seperti itu. Hingga saat api mulai membesar dan suara-suara kegaduhan itu tak lagi terdengar, ia pun kemudian menguatkan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Ia keluar dengan tangis tanpa henti. Langkahnya begitu penuh ketakutan. Beberapa kali ia terjatuh, tersandung tubuh-tubuh yang telah tergeletak tak bernyawa. Dan saat tengah merangkak pelan-pelan itulah, tiba-tiba kakinya dipegang oleh seseorang. Ia berteriak histeris sambil terus meronta-ronta. Namun pegangan itu begitu kuat. Ia pun mencoba berbalik, memandang siapa yang menarik kakinya. Tapi ia tak bisa melihat siapa itu. Wajah lelaki itu telah tertutup sepenuhnya oleh rambutnya dan juga… darah. Tuannyakah itu? sempat ia berpikir. Atau salah satu anak buah tuannya? Ia sama sekali tak bisa menjawabnya. Ia tak lagi punya keberanian untuk terus menatap mata yang ada di antara uraian rambut itu. Lalu dirasakannya tubuhnya yang kecil itu ditarik. Ia sama sekali tak bisa lagi memberontak. Ia juga tak bisa menahan, ketika tangan kokoh lelaki itu meraih tubuhnya, merobek bajunya, dan mulai menggores punggungnya dengan siwar ditangannya. Ia hanya bisa berteriak-teriak histeris. Entah teriakan ketakutan, atau teriakan kesakitan. Tapi suaranya seakan tertelan oleh bunyi kobaran api yang makin membesar. Ia sama sekali tak tahu apa yang digoreskan pada punggungnya. Ia hanya merasakan keperian yang dalam, dan ketakutan yang menulang. Ia tak bisa menangis lagi dan tak bisa terkencing lagi. Ia hampir tak merasakan ketika lelaki itu kembali mengangkat tubuhnya ke tepi kapal, lalu menyodorkan sebatang kayu untuk dipeluknya, sebelum akhirnya mengangkatnya dan melemparnya ke tengah lautan. Saat itu, ketakutannya telah mencapai puncaknya! Dan ia jatuh di laut, sambil memegang papan itu. Sesaat keperian kembali terasa dipunggungnya, begitu perih. Tapi ia tak lagi berteriak. Matanya mendadak sayu, dan seakan tak lagi bergerak. Ia hanya melihat dengan tatapan kosong kapal didepannya yang semakin terbakar dan terbakar…. Lalu… ia tak mengingat apa-apa lagi. Mungkin ketakutan telah merusak seluruh sel-sel diotaknya atau mungkin ketakutan telah membunuh otaknya. Ia hanya bisa terus bergidik dengan gigi yang terus bergemeretakan. Bahkan ketika beberapa nelayan kemudian berhasil menolongnya, ia tak lagi bisa mengingat apa-apa… Dunia seakan telah terhenti baginya…

*****

bab 1 : Bayi Yang Lahir dengan 3 Tangan

swasti cri cakrawarsatita 605 ekadaci cu klapaksa wulan waicakha dapunta hyang najik di samwau mangalap siddhayatra di saptami cuklapaksa wulan jyetha dapunta hyang marlepas dari minanga tamwa mamawa yang wala dua laksa ko dua ratus cara dismawau dengan jalan sariwu tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang di matadanau sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan asada laghu mudita datang marwuat wanua criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…

bahagia! pada tahun saka 605 hari kesebeçlas dari bulan terang bulan waisaka Dapunta Hyang naik di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa orang dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu 312 banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati, pada hari kelima dari bulan terang bulan asada dengan lega gembira datang membuat wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap…
(Prasasti Kedukan Bukit)

1
Bayi yang Lahir Dengan 3 Tangan

Jauh sebelum hari itu, lebih dari 20 tahun yang lalu, sungguh, hari juga pernah terlahir tanpa tanda. Semuanya seakan sangat biasa. Angin tak berhembus, daun tak bergoyang, dan awan tak bergerak. Sungguh, sebuah hari yang begitu biasa, hari yang tak mungkin diingat. Namun jauh dari tanah Telaga Batu, di Desa Tebu Nangga, kejadian tak biasa baru saja terjadi. Desa yang hanya berisi tak lebih dari 20 keluarga itu, seakan sontak menghentikan seluruh kegiatannya. Mereka berduyun-duyun merubung sebuah rumah talang, atau rumah yang dibangun di atas tanah dengan bertumpu pada empat batang kayu kepala, yang terletak di ujung desa. Disitulah, Bayak Kungga baru saja melahirkan seorang cucu. “Aren sudah beranak,” seorang berujar dengan berbisik pada seorang yang baru datang. “Tapi anaknya tak biasa,” tambah yang lain. Ya, bayi yang dilahirkan Aren Suwa, anak dari Bayak Kungga, memang lahir tak biasa. Bayi itu bertangan tiga. Di pangkal tangan kanannya, tepat di bagian pundak, ada sebuah tangan kecil lainnya yang nampak tak bertulang. Bayak Kungga hanya bisa memandang tak mengerti. Berkali-kali disentuhnya tangan itu dengan tangannya yang kasar. Aren Suwa mencoba mengangkat kepalanya dari pembaringannya yang hanya terbuat dari anyaman tikar. “Abah,” ia menyentuh tangan ayahnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi selain itu. “Ambilkan parang!” tiba-tiba Bayak Kungga, tanpa melepas pandangannya dari tangan ketiga bayi itu, berucap pelan entah pada siapa. Aren Suwa memandang ayahnya dengan tatapan penuh duga, “Abah, kau… kau mau apa?” Tak ada jawaban. Suami Aren Suwa, Tansa Kaluh, mendekat sambil menyodorkan sebilah parang. Bayak Kungga lalu mengangkat tubuh bayi itu dengan gerakan perlahan. Lalu ia berjalan menjauh dari pembaringan dimana anaknya berbaring. Tak ada yang bicara lagi saat itu. Beberapa saudara dekat yang ada di dalam rumah juga tak bereaksi. Semua mata tertuju pada Bayak Kungga yang diam cukup lama. Namun akhirnya, lelaki tua itu pun mulai mengangkat tangan ketiga bayi itu, yang tetap terdiam tanpa reaksi. Semua yang ada disitu seketika menahan napas, seakan bisa menduga apa yang akan dilakukan lelaki yang juga menjadi tetua di datu ini. Lalu dengan gerakan yakin, Bayak Kungga tiba-tiba sudah menggerakkan parang ditangannya, memotong tangan ketiga bayi itu. Darah seketika memuncrat, seiring tangisan bayi itu yang pecah seketika. Aren Suwa meraung histeris. Ia berusaha menggapai bayinya, namun suaminya mencoba menenangkannya. Sampai beberapa saat, tak ada lagi yang bicara di dalam rumah itu. Semuanya diam, membiarkan tangis bayi itu mengisi ruangan. Juga membiarkan darah yang mengotori lantai bambu itu perlahan mulai menetes jatuh ke bawah, membuat para penduduk yang sedari tadi menunggu di bawah semakin menduga-duga. “Ia akan mati…“ salah seorang saudara, yang berdiri di tepi pintu rumah, berbisik entah pada siapa. “Ya, ia pasti akan mati, bila ia hanya bayi biasa,” Bayak Kungga menjawab ucapan itu sambil memandang sosok yang berucap tadi. “Tapi,” tambahnya, “bayi yang lahir dengan tiga tangan, tentulah bukan bayi biasa…” Dan tak ada yang membantah ucapan itu.

*****

Pandaya Sriwijaya







Pandaya Sriwijaya Penulis Yudhi Heribowo

Penyunting RH Widada
Desain sampul Maya
Pemeriksa Aksara Morien Gloree, Yayan RH.
Penata Aksara Bowo

Penerbit Bentang xiv + 454 halaman Rp. 53.000





Pemilihan Pandaya Sriwijaya seharusnya telah usai. Namun, kehadiran seorang gadis bercadar dengan rajah kupu-kupu di pipinya membuat keputusan Dapunta Cahyadawasuna berubah. Gadis itu tak kalah hebatnya dengan pandaya terpilih, seorang pemuda dengan tiga pedang. Pertempuran keduanya, dengan jurus-jurus kejutan yang begitu dahsyat, seakan tak akan pernah berakhir. Berbeda dari tradisi sebelumnya, Sriwijaya kini memiliki dua pandaya.

Sriwijaya, di tengah ancaman kerajaan tetangga dan kedatuan-kedatuan yang tengah berkhianat, masih menggenggam ambisi menguasai Bhumi Jawa. Dibutuhkan pendekar-pendekar kuat nan digdaya untuk mencapainya, selain juga armada-armada yang tangguh. Namun, upaya mempertahankan kebesaran Sriwijaya bukan tanpa biaya. Ada luka, tangis, amarah, dan tak kalah ketinggalan, dendam. Dan, tak ada yang mengira, sebuah dendam bisa memorakmorandakan kesatuan terhebat di penjuru nusantara pada masa itu. Berhasilkah para pandaya Sriwijaya mempertahankan kembali kebesaran yang selalu dibanggakan para leluhur?

Dalam 12 purnama, Balaputradewa mengucurkan darah 25.000 nyawa. Semua demi kebesaran sebuah nama: Sriwijaya.


*****

"Novel sejarah dengan latar yang jarang disentuh. Indah, puitis penuh kejutan..."
-- Hermawan Aksan, penuls novel sejarah Dyah Pitaloka

"Novel puitis. Banyak tokohnya dan seru ceritanya. Menggemaskan dan pembaca perlu ingatan kuat..."
-- Bandung Mawardi, esais, penggiat Kabut Institut