Kamis, 10 Juni 2010

Pandaya Sriwijaya: Jika Dendam dan Balas Budi Ikut Campur, Resensi Truly Rudiono

Penulis : Yudhi Herwibowo
Penyunting : R.H Widada
Halaman : 456
Penerbit : Bentang Pustaka





Dengan membaca kita mencapai pengertian;

Dengan melatih diri kita mencapai pembebasan;

Dengan kepercayaan kita mendapat pertolongan;

Dengan pembebasan kita menuju penerangan


Buku ini mengisahkan mengenai perjalanan hidup tiga anak manusia di bumi Sriwijaya. Tunggasamudra yang berilmu tinggi namun kerap kehilangan orang-orang yang dicintainya, Agriya seorang gadis muda yang memiliki tubuh berbau harum namun tidak bisa mengontrol emosinya hingga sering mendapat masalah, serta Kara Baday seorang pelaut yang kepatuhannya untuk menjalankan pesan terakhir orang tua malah menjadikan maut bagi banyak orang.

Buku ini menggambarkan bagaimana pertemuan dan perpisahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Dimana takdir dan nasib baik memiliki perbedaan yang tipis. Bagaimana ketenangan memperoleh ganjaran yang setimpal, sementara kemarahan bisa membuat seseorang celaka. Bagaimana dendam bisa membuat yang bersatu menjadi tercerai berai.

Pandaya Sriwijaya merupakan suatu kegiatan untuk memilih pendekar yang paling tangguh diantara yang tertangguh. Cocok untuk menggambarkan sepak terjang kedua tokoh utama. Cerita mengambil lokasi di Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya sendiri berasal dari bahasa sansekerta, "Sri" berarti bercahaya, sementara "Wijaya" berarti kemenangan. Dalam Bahasa Sansekerta, Sriwijaya disebut juga" Yavadesh" dan "Javadeh", sementara orang China menyebutnya "San Fot T'si", orang Arab menyebut "Zabag" dan orang Khmer menyebutnya "Malaya"

Cerita dengan latar belakang sejarah yang penuh dengan adegan laga ini diramu dengan apik. Sejujurnya saya merasa kurang puas dengan adegan laga antara tokoh utama, harusnya bisa dimuat lebih seru lagi. Pertarungan yang ada dibuat dengan sangat wajar sehingga berkesan memang sudah seharusnya ada adegan laga, bukan dipaksakan. Jurus-jurusnya pun sangat bisa diterima akal sehat, bukan sekedar fantasi tanpa logika.

Banyak kejutan-kejutan yang disajikan oleh penulis, misalnya pemunculan seorang gadis berajah kupu-kupu, rahasia lehidupan salah satu pembesar negara serta bagaimana nasib sang tokoh utama. Hati-hati saja dalam membaca buku ini. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan mengenai bagaimana nasib seorang tokoh, karena apa yang diungkapkan di awal belum tentu sama di belakang.

Wajah perempuan bercadar di sampul depan benar-benar sesuai dengan imajinasi saya berdasarkan gambaran sang penulis. Namun untuk tokoh Tunggasamudra, saya terpaksa mengakui tidak ada kesamaan antara imajinasi saya dengan wajah yang ada disampul depan tersebut. Selain kumis yang terasa mengganggu, sosoknya buat saya berkesan sangar bukannya dingin.

Yang paling kuingat jika mengunjungi kerabat di Palembang adalah Lempok (sejenis dodol dari durian) serta piknik di kebun durian. Dua hal yang sepertinya tidak boleh terlewat. Saking sukanya makan kempok, saat hamil muda dan mulai mengalami mual di pagi hari, cuman lempok yang bisa ditelan. Mau tidak mau terpaksa memohon kiriman dari kaum kerabat. Pandangan heran penjual durian tidak mengurangi semangatku menyantap buah berbau menyengat namun nikmat itu. Mungkin ia baru melihat ibu hamil yang rakus melahap buah durian sambil duduk santai

Namun, membaca buku ini membuatku menyadari banyak sisi lain dari Palembang yang tidak aku ketahui.Banyak pelaku sejarah bahkan sejarah yang tidak aku ketahui. Istilah-istilah umum seperti sumbau (perahu khas milik Kerajaan Sriwijaya bertiang empat), pu (sebutan bagi pemimpin tinggi) atau datu (desa) benar-benar baru aku ketahui dari buku ini.

Selesai membaca buku ini, tanpa sadar saya menarik nafas lega. Saya baru merasa letih. Emosi saya terkuras habis membaca sepak terjang tokoh yang ada dalam buku ini. Kata-kata yang dipilihnya memang kata-kata biasa yang sudah akrab di telinga kita. Namun penyusunan katanya yang mampu membuat pembaca terlena. Misalnya kalimat, “ Kisah empat puluh tahun silam dari hari ini, bumi pernah terasa murka. Bergemuruh penuh amarah, meretakkan setiap jengkal tanah biasa dipijak.” Atau kalimat “Itu adalah kisah empat puluh tahun silam, saat hari terlahir murka” “ Belum lagi penamaan setiap babnya. Namun maknanya kata "Saya telah lapar" benar-benar menggelitik rasa ingin tahu saya. Apa artinya ya.....

Wajar jika penulis berbakat ini merupakan satu dari sedikit penulis yang mendapat undangan ke Bali dalam rangka festiva penulis. Sikap rendah dirinya membuat ia jarang mau menerbitkan sendiri buah karyanya, walau ia merupakan pemilik salah satu penerbit yang patut diperhitungkan. Silahkan mengunjungi http://yudhiherwibowo.wordpress.com/, maka anda akan tahu, bahwa saya tidak asal memuji. Buku ke sekian puluhnya serta penggalan novelnya membuktikan eksistensinya sebagai penulis muda yang handal.

Sebenarnya saya sangat ingin memberikan bintang 5 buat buku yang satu ini, hanya saja pemilihan kertas yang membuat mata menjadi kurang nyaman, karena terdapat beberapa halaman yang berbayang sehingga mengganggu, membuat saya harus menurunkan 1 bintang. Memang pemilihan kertas merupakan hak penuh penerbit, namun karena buku ini dinilai dari keseluruhan faktor, maka terpaksa harus menurunkan 1 bintang.

Tapi jadi penasaran juga, memang jaman dahulu juga ada kebiasaan memplesetkan lagu?
"Kucoba-coba melempar monyet.... Monyet kulempar, singa kudapat....." Sepertinya mirip dengan lagu...

*****

dicuplik dari : http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/truly-rudiono/pandaya-sriwijaya-jika-dendam-dan-balas-budi-ikut-campur/434801067278

Jumat, 09 April 2010

Review dari shapby. livejournal.com

OK. So, what do you get when you mix Dragon Ball, the Kang-ow world, and Musashi together? Throw in a bit of ancient history into the cocktail, and voila! You get Pandaya Sriwijaya: Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya. (Such a long title, eh?)

Title: Pandaya Sriwijaya: Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya
Author: Yudhi Herwibowo
Publisher: PT Bentang Pustaka
Year: September, 2009
Price: Rp 53.000,- (Gramedia)

Why in the world did I buy this book? Because I needed reference for writing about local ancient history, and didn't really trust other publishers so I went for a more familiar publisher. (Bentang, I believe, has published Dee's Perahu Kertas and Hirata's Laskar Pelangi series, if I'm not mistaken) It wasn't much of a mistake, I suppose, the book turned out to be passable for a story, but it wasn't as intriguing as I expected to be, and the writing style wasn't so distinct.

The way the author writes reminds me of those classic Kang-ow series. (You know, the kung-fu Chinese, I-Thian-To-Liong, etc. Btw, are those books still available in bookstores? I believe my copies have been diminished by termites.) Herwibowo gets very detailed in explaining each characters history and why they end up where they currently are, but IMHO he fails to explore the characterization of the roles. For example, Agiriya aka Sangda Alin who could've been a tragic awesome heroine, ends up being... rather useless and, well, she doesn't give much impact to the story in the end. Also, Tunggasamudra, who is supposedly the main character of the whole story, seems to be a sidekick when compared to Panglima Samudra Jara Sinya--whom we don't really get to know that well at all.

But I suppose, the magnet of the stpry lies within the intricities of the occurences within the kedatuan and its surroundings. (Thus, the excrutiatingly long tag line upon the title: Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya.) These happenings are strongly strung together, in an intense way that keeps the reader glued to the story, wanting to know the outcome of the various wars and battles. Though the answer comes rather prematurely, it still is quite inviting for a good read. I myself finished the book within four hours, without interruptions. Pretty good.

It's interesting how the author recreates the entire environment and background setting of the story, noting that it is set more than a thousand years ago. The settings are very well-detailed, and believable, so that the readers can imagine how exactly each scene happens.

Overall score: 3/5


dipetik dari : http://shapby.livejournal.com/26848.html

Review Komunitas Baca Buku

Judul : Pandaya Sriwijaya
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Bentang
Genre : Novel Sejarah
Nilai : 4,5/5 (Versi Komunitas Baca Buku)

Banyak novel sejarah bertebaran dan memberikan sarat cerita menarik untuk ditilik. Kali ini KBB akan bahas novel Pandaya Sriwijaya, sebuah novel apik yang dibuat dengan tutur kata memikat dan menarik perhatian siapa saja untuk melihat novel ini.

Novel ini bercerita tentang seluk beluk yang terjadi pada kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Kita akan melihat bagaimana kehidupan perompak di masa lampau, perjuangan rahib Budha menyebarkan agama, serta pencarian makna takdir dari karakter-karakternya menjadi pemegang kendali Pandaya Sriwijaya.

Novel ini ceritanya amat sangat kompleks, karena beberapa karakter digambarkan dengan detil. Saking banyaknya karakter, saya jadi bingung harus menceritakan cerita yang mana, karena memang semua cerita yang disajikan dalam bab-bab novel ini sangat menarik. Ada cerita tentang Balaputradewa, Tunggasamudra, Cahyadawasuna, dll.

Sebenarnya saya paling suka dengan cerita Tunggasamudra, perjalanan dengan sang rahib Budha, menyiratkan banyak pesan dan makna tersembunyi. Karakternyapun kuat terlebih dengan masa lalu Tunggasamudra yang berbeda dengan teman-teman sebayanya.

Kalau cerita tentang kerajaan Sriwijaya, pada bab-bab akhir kita akan menemukan perang dengan bersatunya para tokoh yang di bab awal terpisah cerita di bab-bab awal. Mereka bergabung mempertaruhkan hidup mereka untuk Sriwijaya. Hmm bagaimana kelanjutan ceritanya?

***

Kesimpulannya

Membaca Pandaya Sriwijaya sebenarnya seperti membaca novel Samurai Cahaya (novel Yudhi Herwibowo di masa lampau). Karakternya banyak dan cara penceritaannya melingkupi banyak aspek yang dibahas. Di novel ini kita akan menemukan makna spirit perjuangan, perpolitikan, strategi perang, dan suasana Palembang di masa lampau.

Rasanya penulis berhasil menancapkan taste Palembang sebenarnya di novel ini. Semua bisa dimaklumi karena memang penulis berasal dari sana, sehingga wajar ketertarikan pada sejarah Palembang menjadi dasar kuat penceritaan novel ini.

Novel ini menurut saya adalah salah satu novel terbaik dari mas Yudhi, karena memang saya sebelumnya sudah sempat membaca novel-novel sebelumnya. Kompleksitas dari cerita seolah di terjang oleh penulis dengan sangat mulus. Dengan alur maju dan smooth, kita akan dibawa ke dalam suasana Palembang di masa lampau. So, what are u waiting for? Jangan lupa beli novel ini ya!

***

Senda
Ketua Komunitas Baca Buku

Esai 'Bermula dari Sriwijaya' oleh Beni Setia di Suara Karya


Bermula dari Sriwijaya
Oleh Beni Setia

Suara Karya, Sabtu, 10 April 2010


AWAL dari fiksi berlatar Sriwijaya setebal xiv + 454 halaman ini, lihat Yudhi Herwibowo, Pandaya SriwijayaTTK2 Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya, Sebuah Novel, Bentang Pustaka, September 2009-adalah cinta buta Pramodawardhani, putri pewaris tahta Samaratungga dan keponakan Balaputradewa, si pemangku estafet trah Sailendra. Yang memutuskan menikah dengan Jatiningrat, keturunan Sanjaya, hingga kuasa atas Mataram kuno dan Sriwijaya akan jatuh ke tangan trah Sanjaya, spontan patriarki bukan milik trah Sailendra lagi.

Dan krisis legitimasi kuasa trah memuncak saat Samaratungga wapat dan tahta jatuh pada Pramodawardhani tak peduli Jayaningrat bernadar hanya akan konsentrasi pada meditasi mencari pembebasan duniawi. Dan atas pertimbangan mempertahankan kuasa tetap di garis patriarki trah Sailendra Balaputradewa adik Samaratungga serta paman Pramodawardhabi "berontak" dan "ditumpas" di Desa Iwung. Sebuah momen kekalahan dan pembantaian yang jadi trauma, terutama setelah ia "dihukum buang", dengan jadi raja Sriwijaya di Sumatra selatan, nun di seberang Bhumijawa.

Keberkuasaan di pengasingan yang selalu dianggap sebagai kekalahan total trah Sailendra, yang memicu obsesi pribadi ingin menyerang dan menaklukkan Mataram Sanjaya. Ide penaklukan yang tidak pernah kesampaian karena beberapa datu (negara) jajahan Sriwijaya di Sumatra, beberapa anak-anak trah penguasa setempat di Sumatra terusik kelemahan hegemoni penguasa Sriwijaya, bermimpi bebas, dan berkonspirasi memberontak. Itu latar, konteks dan titik tolak novel Yudhi Herwibowo, fakta krisis hegemoni Sriwijaya, datu Telaga Batu, sekaligus nostalgia kejayaan masa lalu yang ingin dibangkitkan lagi saat melihat pelemahan hegemoni datu Telaga Batu.

* * *

IDE makro itu dikongkritkan di tingkat mikro dengan cerita tentang Biksu Wang Hoi di Sumatra, yang tersisa dari si sepasang pendekar Liang Qiang. Pasangan yang cape mengarungi kang-ouw, lembah air mata dan darah, dengan memilih mundur dari keramaian. Sayang niat itu gagal karena seluruh musuh bersatu, mengeroyok mereka. Si istri mati, sang suami memutuskan jadi biksu dan mengembara sebagai pendakwah ajaran Buddha. Bersua Tunggasamudra, anak dengan kelainan fisik, lahir dengan tiga buah tangan, dan selamat dari hanyut disapu banjir, yang diangkatnya jadi murid.

Yang menarik, semua tokoh kunci novel memiliki pertanda alam dan fisik yang luar biasa. Wantra Santra, kepala pasukan rahasia (intel) Sriwijaya adalah anak yang lahir saat letusan gunung berapi dan selamat sehingga diangkat anak oleh Mahak Ilir. Penguasa datu Minanga Tanwa. Keturunan sah Kerajaan Melayu yang memberontak, dikalahkan, dan minta imbalan balas budi untuk menuntaskan dendamnya kepada si penakluk: Abdibawasepa.

Panglima Sriwijaya yang difitnah Wantra Sentra, yang lari dan menjadi bajak laut. Kara Baday, anak Abdibawasepa, si pewaris Abdibawasepa, yang ditarik jadi panglima muda Sriwijaya setelah mencari jasa memusnahkan bajak laut yang lain, sebelum dikorbankan Jaraq Sinya, penglima angkatan laut Sriwijaya

Lantas Agiriya dan kemudian Sangda Alin, putri Ih Yatra, penguasa datu Muara Jambi yang berontak, gadis tomb boy dan tubuhnya meruapkan wangi bunga. Magra Sekta yang dikutuk memiliki kemampuan clairvoyance bisa melihat nasib orang lain dengan memandang.

Cahyadawasuna, anak penguasa Talang Bantas yang meninggal karena sakit dan kadatuannya musnah ditimbun debu gunung meletus, seperti nasib Mataram kuno. Tokoh ini meminum air rendaman Bunga Sukmajiwa, dan ia selamat dari bencana tertimbun lava dingindengan bersemedi 13 hari, kemudian ia diangkat jadi penasehat Balaputradewa.

Dan cerita berkelindanan di antara mereka. Balaputradewa, sebagai si penerima tongkat estafet trah Sailendra,yang merasa dikalahkan secara halus oleh trah Sanjata, dan ingin memerangi Mataram kuno di Jawa. Kara Baday yang ingin membersihkan nama baik ayahnya, yang difitnah berontak pada Sriwijaya sehingga mau melakukan apa saja, dan mati sia-sia di tangan Tunggasamudra setelah ia merasa dikhianati oleh Jara Sinya. Jara Sinya yang melakukan apa saja demi keagungan Sriwijaya, seperti Wantra Sentra khilaf mengiyakan tuntutan balas budi Mahak Ilik, dengan memfitnah Abdibawasepa. Atau Agiriya yang dendam sebab keluarga dan perguruannya dibantai kelompok Wantra Sentra. Dan tentu saja ambisi Mahak Ilik, Ih Yatra dan Panglima Tambu Karen yang berilusi ingin jadi penguasa dengan berontak KRGpadaKRG Sriwijaya.

* * *

SEMUA kait berkait, meski buku tebal ini mengesankan hanya satu penggalan dari sebuah serial, yang seharusnya ada awalan dan ada akhirannya, tak bisa ditutup dengan kesadaran Budhis Balaputradewa yang kembali terkenang kepada banjir darah pembantaian dari pemberontakannya yang kalah, sekaligus perasaan sedang berkukuh dengan harga diri semu duniawi karena Pramorawardhani itu telah menyerahkan tahta Mataram dan Sriwijaya padanya supaya bisa bebas bermeditasi. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara hidup lain, yang lebih sederhana tetapi tentram tanpa ilusi kekuasaan dan keberkuasaan?

Semua berkelindan, sekaligus membelit serta menjerat seperti jaring laba-laba, sebagaimana Tunggasamudra yang tiba-tiba ada dalam gebalau dendam, prahara dan cinta. Di penghujung cerita, setelah menyampaikan berita kematian Kara baday pada kekasihnya, Aulan Rema, ia memilih terlepas dari kilau dunia dan sekaligus terbebas dari gebalau duniawi, memilih jalan sunyi yang damai dan mensejahterakan orang lain. Sebuah pencerahan Budhistik yang sangat indah, dengan latar Sriwijaya tapi ada banyak jurus Mandarin yang tidak bersipat Sriwijaya tapi, hal yang tak terhindarkan karena kita terbiasa dengan teks dan budaya silat China dan Jepang. Sekaligus sebuah janji: akan ada cerita petualang Tunggasamudra berikutnya.

Karena, konteks kejiwaan yang sudah terbentuk sayang kalau tak dilanjutkan.

***

link : http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Budaya

Selasa, 30 Maret 2010

Emdorsment2

Novel sejarah yang lulus dengan predikat sangat baik. Penggarapannya serius, dengan bahan yang lengkap dan mutakhir. Tokoh-tokoh dibangun dengan karakter yang pas. Narasi bakal membawa kita pergi ke dunia Sriwijaya dengan kapal-kapal yang agung, benteng yang kokoh, para pendekar yang melayang-layang di udara, intrik dan balas dendam, dan percintaan yang sunyi. Novel ini paling tebal tapi tidak membosankan. Kisah-kisah yang menegangkan dan misteri-misteri yang disembunyikan akan menyeret kita –tanpa disadari- untuk membaca halaman demi halaman hingga novel ini selesai. Saya ingin mengatakan bahwa novel ini memiliki informasi laiknya puzzle yang di depan terhubungkan dengan yang di tengah juga di belakang, dan sebaliknya semua saling terhubungkan sehingga jelas tak ada kalimat yang sia-sia. Ini adalah salah satu dari sedikit novel tebal karya anak negeri yang tanpa pemborosan kata di tengah-tengah kepungan novel anak muda kita yang sangat boros, penulisannya buruk dan kedodoran, dan membacanya hanya membuang waktu saja!
-- Han Gagas, penulis buku Jejak Sunyi (dari web)

Biar agak terlambat saya baca pandaya sriwijaya, tapi hebat, sampai2 engga sempat baca koran beberapa hari karena asiknya baca novel ini sampai selesai. Salut maju terus dengan novel2 yang misterius, ehhhh yang humoris juga bagus. Selamat berkarir...
-- Sukamto di Jakarta (dari blog)

Membaca Pandaya Sriwijaya membuatku kerap membayangkan menjadi Agiriya yang tubuhnya seharum bunga :)
Salut buat mas Yudhi atas imajinasinya
-- Anti di Bekasi (dari fb)

Kereeeeen... bikin lagi yang begini duoooong!!!!
-- Suhadi di Jakarta (dari fb)