Adalah seorang bayi
laki-laki yang dilahirkan dengan tiga tangan dan seorang bayi perempuan yang memiliki
wangi bunga di tubuhnya. Bayi laki-laki yang dinamai Tunggasamudra itu kemudian
berguru pada Biksu Wang Hoi, seorang pengelana ajaran Budha, dan mempelajari
ilmu-ilmu sakti, sedang bayi perempuan yang dinamai Agiriya itu kemudian harus melarikan
diri setelah Datu Jambi, kedatuan milik ayahnya dibinasakan. Seiring
waktu, nasib mempertemukan keduanya dalam pemilihan Pandaya Sriwijaya, gelar pendekar paling tangguh yang diadakan oleh
Kerajaan Sriwijaya. Walau sosok Agiriya telah mengubah dirinya menjadi Sangda
Alin, menyamarkan dirinya untuk membalas dendam pembinasa keluarganya. Kedua
tokoh ini kemudian bertemu dengan Dapunta
Cahyadawasuna, penerus tanah Talang Bantas dan Kara Badai, kepala perampok yang
berniat membersihkan nama baik ayahnya. Juga tak ketinggalan Marga Sekta,
pemuda pecundang yang benar-benar mencintai Agiriya dan terus mencarinya kemana
pun Agiriya pergi, dengan sebuah alasan kuat, yang sangat mengerikan. Semuanya kemudian
berkelindan oleh tujuan besar Balaputradewa untuk kembali membalas kekalahannya
dari trah Sanjaya.
Begitu
kira-kira sinopsis Pandaya Sriwijaya.
Harus saya tuliskan lagi karena buku yang terbit tahun 2009 itu memang sudah tak
lagi ditemukan di pasaran karena pihak penerbitnya tak lagi mencetak ulang.
Jujur
saja saat saya memutuskan menulis Pandaya
Sriwijaya, saya tak memiliki tujuan besar. Hanya sebagai orang yang
terlahir di Palembang, saya merasa jarang sekali melihat buku-buku tentang
kerajaan Sriwijaya. Toko-toko buku sepertinya hanya dipenuhi oleh buku-buku
berlatar Majapahit dan Pasundan. Belum banyak yang menulis Sriwijaya. Alasan
sentimental itulah yang membuat saya menulis Pandaya Sriwijaya, dan mempersembahkan buku itu untuk ibu saya yang
memang asli orang Palembang.
Tapi
keinginan itu terbentur dengan minimnya data yang ada. Data-data tentang
Sriwijaya memang tidaklah banyak. Terlebih data-data Sriwijaya semasa abad 9 ke
bawah. Bahkan dalam buku legendaris Bernard HM Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia yang terbit pertama kali tahun
1943, perihal tentang Sriwijaya hanya disinggung dalam beberapa kalimat. Ratusan
tahun, Sriwijaya seakan terus menjadi puzzle
yang belum bisa disusun keruntutannya. Bahkan bagian-bagian paling dasar sekali
pun masih terus diperdebatkan.
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan
arkeolog dan epigrafi, mungkin karena raja-raja negeri tersebut sibuk mengurusi
perdagangan ketimbang membangun kuil-kuil atau menulis kata-kata pujian (Le royaume
de Crivijaya - George Coedes)
Satu
buku yang saya pegang dengan erat saat penulisan novel ini adalah buku Sriwijaya tulisan Prof. Dr. Slamet
Muljana (LKIS, 2006). Buku itu membawa saya pada perdebatan yang cukup seru sejak 100 tahun terakhir. Adalah George
Coedes yang seperti memberi awalan perdebatan ini setelah merilis bukunya Le royaume de Crivijaya tahun 1918.
Walau sebenarnya nama Sriwijaya sendiri sudah mulai terdengar sejak 1913 ketika
Prof Kern menerbitkan Piagam Kota Kapur.
Sejak itu pendapat baru yang mendukung maupun yang menentang terus hadir dalam
perdebatan tentang Sriwijaya. Sebagian besar di dominasi oleh peneliti atau
sejarawan dari luar.
Baru sejak tahun 1958 Drs. Soekmono
mengemukakan teori baru tentang lokalisasi pusat Kerajaan Sriwijaya berdasarkan
penyelidikan geomorfologi. Teori inilah yang kemudian membawa perdebatan seru antara dirinya dengan Prof. Dr. Slamet Muljana. Satu yang sangat dominan adalah mengenai letak dan tafsir sejarah
kerajaan Sriwijaya. Soekmono yang menengarai
bahwa letak Sriwijaya ada di Jambi, dan Slamet Muljana
percaya bahwa Sriwijaya terletak di Palembang. Masing-masing pendapat itu
memiliki argumentasi yang kuat. Slamet Muljana
mengacu pada informasi Coedes mengenai nama Shih-li-foh-shih sebagai nama Sriwijaya,
yang muncul dalam
prasasti Ligor. Pendapat ini dikuatkan juga oleh Samuel Beal, orang Inggris pertama yang menerjemahkan langsung
catatan-catatan Budha dari bahasa aslinya, China (1883).
Perdebatan tentang Sriwijaya memang banyak mengacu pada berita Cina seperti dari catatan-catatan I-tsing dengan Memoire dan Record-nya, juga berdasarkan penafsiran terhadap prasasti-prasasti yang ditemukan.
Sebagai penulis novel sejarah saya
menempatkan posisi sebagai pelari estafet selanjutnya dari para peneliti atau
arkeolog atau sejarawan yang telah menjadi pelari estafet sebelumnya. Maka itu
saya mengambil kesimpulan yang saya pikir paling logis, paling bisa
dipertanggungjawabkan dan paling sesuai dengan kerangka kisah yang rencananya
saya buat. Faktor ketiga ini dalam proses pembuatan novel sejarah yang saya
lakukan, kadang dapat diabaikan dan menjadi faktor kesekian, namun khusus dalam
penulisan Pandaya Sriwijaya ini, kerap
menjadi sangat dominan.
Seperti
saat saya mengawali kisah ini dari Prasasti Kedukan Bukit, yang dapat
dikatakan menjadi latar novel ini.
“Swasti cri
cakrawarsatita 605 ekadaci cu, klapaksa wulan waicakha dapunta hyang najik di, samwau
mangalap siddhayatra di saptami cuklapaksa, wulan jyetha dapunta hyang marlepas
dari minanga, tamwa mamawa yang wala dua laksa ko, dua ratus cara dismawau
dengan jalan sariwu, tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang di matadanau, sukhacitta
di pancami cuklapaksa wulan asada, laghu mudita datang marwuat wanua, criwijaya
jaya siddhayatra subhiksa…”
Terjemahan; “Bahagia! Pada
tahun Saka 605 hari kesebelas, bulan terang bulan Waisaka, Dapunta Hyang naik
di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan
Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa
orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu tiga ratus dua belas
banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati. Pada hari kelima dari bulan
terang bulan Asada dengan lega dan gembira datang membawa wanua Sriwijaya melakukan perjalanan
jaya dengan lengkap ...”
Dari
sinilah semua kisah berawal. Saya mengimajinasikan kejadian sebelumnya, dan
kejadian selanjutnya. Karena tidak semua prasasti yang ditemukan serta catatan-catatan
sejarah lainnya, memiliki posisi kuat untuk membangun novel saya, namun dari
beberapa yang sudah diuraikan dari para ahli tersebut, saya dapatkan sebutan-sebutan
yang umum tentang Sriwijaya pada masa itu, semisal sebutan tentang, Datu, Dapunta, Dapunta Hyang, Pu, sambau,
dll. Sebutan-sebutan ini terus saya pakai untuk mendapatkan cita rasa
Sriwijaya. Keadaannya cukup aman, karena penafsiran dari beberapa ahli
cenderung sama.
Saya
juga bermain di jalur aman dengan mendeskripsikan Sriwijaya seperti yang sudah
banyak ditulis. Saya sadar ini beresiko menimbulkan ketidakluwesan sebuah
novel. Namun saya pikir, di novel setebal 452 halaman tentu sah-sah saja
membuat 1 paragraf yang kaku dan tidak luwes, seperti ini;
Sriwijaya sendiri merupakan sebuah nama dari bahasa
Sanskerta. Sri berarti bercahaya dan wijaya berarti kemenangan.
Sejak tahun 500an, orang-orang China, India dan Kmer sudah datang untuk
berdagang. Orang China menyebut bhumi
ini San Fot T’si, sedang orang
Arab menyebutnya Zabag, dan
orang Khmer menyebutnya Malaya.
Dalam bahasa Sanskerta sendiri, Sriwijaya sering disebut Yavadesh dan Javadeh… (bab 1)
Setidaknya
saya merasa perlu menuliskan gambaran Sriwijaya saat itu, walau masih terasa
labil di saat sekarang.
Selain
itu untuk mendukung sebutan-sebutan yang sepertinya diaminin bersama itu, saya
menindaklanjutinya dari berbagai sumber lainnya. Semisal saat membicarakan soal
sambau, saya mengambil deskripsi dari
pahatan-pahatan di Candi Borobudur, serta keadaan secara umum kapal-kapal kuno
di abad yang lebih maju. Tentu dengan dramatisasi agar terlihat lebih garang,
dan megah.
Selain bentuknya yang besar dan panjang, sambau Sriwijaya juga memiliki
beberapa ciri khas lainnya. Bagian depan kapal nampak ditinggikan, hingga
nampak menjulang tinggi. Lalu bagian buritannya nampak datar dan kotak, tanda
disitulah ruangan perahu berada. Ini berbeda dengan perahu-perahu dari Gujarat dan
Cina, yang biasanya bagian depan dan buritannya nampak hampir sama. Walau
terbuat dari kayu yang mungkin sama, ada beberapa cara yang sedikit berlainan,
terutama saat menyambung papan. Pada sambau
sambungan dibuat dengan cara pena kayu,
dimana hanya kayu yang dibuat sedemikian rupa sebagai alat penyambungnya. Ini
tentu saja bisa menahan air asin dan tidak berkarat. Pada bagian tiang, tiang
utamanya sengaja dibuat agak miring ke depan, untuk menopang layar yang
berbentuk segi empat. Untuk layar penunjang biasanya menggunakan bentuk layar
segitiga, yang lebih dikenal dengan nama layar sudu-sudu… (bab 2)
Namun
cikal bakal kisah novel Pandaya Sriwijaya
sendiri sebenarnya berawal dari kisah pahlawan Kandra Kayet, yang ditaklukan
oleh pemberontak Tandrun Luah, seperti yang ada dalam Piagam Kota Kapur.
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di
medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh
Tandruh Luah. Tandruh Luah mati di medan pertempuran. Tapi bagaimana nasib
Kayet yang berhasil membunuh itu? Juga Kayet berhasil di tumpas. Ingatlah akan
kemenangan itu! Ia enggan tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu.
Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang
berkumpul menjaga Sriwijaya! Dan kau, Tandruh Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh
persumpahan ini! Jika pada saat mana pun di seluruh dunia wilayah kerajaan ini
ada orang yang berkhianat, bersekutu denan pengkhianat,…
Saya
mengambil seting waktu beberapa tahun setelah pemberontakan itu. Konsep dasar
sebuah kisah silat: kebaikan melawan kejahatan, balas dendam, perebutan
kekuasaan, intrik-intrik politik, cinta sejati, jurus-jurus sakti dengan
level-level tertentu, saya padukan seluruhnya dalam novel 452 halaman itu.
Rahan Suja mengangguk, “Orang tua angkat Wantra
Santra ternyata adalah… Dapunta
Mahak Ilir. Ia merupakan pemberontak di Minanga Tamwa puluhan tahun lalu, yang
mengobarkan Perang Merah
melawan Dapunta Abdibawasepa.
Bahkan, hamba juga mendapat kabar bila moyang Dapunta Mahak Ilir merupakan keturunan langsung dari pemberontak
Kandra Kayet!” (bab
30)
Tidak
adanya runtutan data sejarah yang lengkap, membuat saya berani menciptakan
tokoh-tokoh sendiri di seting kala itu. Jujur saja, saya memang menempatkan Pandaya Sriwijaya cukup aman dari kronik
sejarah Sriwijaya. Keempat tokoh utama yang saya ceritakan sejak awal,
merupakan pelaku kecil yang ada dalam kronik kerajaan Sriwijaya yang besar dan
megah. Hal ini saya lakukan karena keinginan saya mengeksplorasi tokoh-tokoh
tersebut secara detail, walau eksporasi tokoh-tokoh ini tetap saya imbangi
dengan keberadaan tokoh Balaputradewa yang terus disebut-sebut dalam kronik
Sriwijaya. Saya mungkin tak cukup berani seperti halnya Niki Kosasih yang
menciptakan kerajaan imajinatif bernama Madankara
pada Saur Sepuh, atau Anchee Min yang
dalam penutup novelnya Pearl of China
mengaku terus terang telah memindahkan tahun kejadian salah satu pemberontakan,
untuk mendapatkan efek emosional tokoh-tokoh rekaannya.
Saya pikir setiap penulis punya
alasan sendiri melakukan hal ini. Terlebih posisi penulis novel sejarah, saya
pikir sekarang ini lebih aman. DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI,
menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif[1].
Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah,
seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi
sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir, yang
juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa
tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya. Namun
tentu tak semua sependapat dengan itu, beberapa orang lebih mengamini pendapat Kuntowijoyo
yang mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran,
hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2].
Saya tak tahu dimana novel Pandaya
Sriwijaya akan ditempatkan. Saya pikir itu bukan urusan saya. Namun
pendapat mana pun yang dipercaya, tetap saja sebuah karya sastra harus memiliki
kekuatan sedekat mungkin dengan kenyataan yang bisa dibayangkan pembaca.
Maka itulah untuk menunjang itu,
studi literasi lainnya saya lakukan sebagai pelengkap dalam pengolahan jalinan
kisah ini. Tak melulu mengenai kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di
sekitar Sriwijaya. Kerajaan-kerajaan (saat itu lebih kerap di sebut datu) seperti Muara Jambi, Talang
Bantas, Minanga Tamwa, sudah cukup banyak dibahas di buku Sriwijaya milik Prof Dr. Slamet Muljana. Saya juga sempat
menyinggung sedikit tentang kerajaan Dharmasraya yang ada dalam Selingan Majalah Tempo, tentang Dharmasraya;
Kerajaan di Tepian Batanghari. Konon kerajaan yang masih sangat misterius
keberadaannya ini memiliki seting waktu yang hampir sama dengan keberadaan
Sriwijayaini dapat dilihat dari masuknya aliran Budha Wajrayana yang dianut
Kerajaan Dharmasraya bersamaan dengan masuknya dinasti Sailendra ke Palembang,
yaitu abad 8 -9 Masehi.
Seperti yang
terjadi di Dharmasraya ini. Raja selalu disimbolkan dengan sosok Bhairawa, yaitu sesosok raksasa yang
begitu menyeramkan dan tengah menaklukkan lawan-lawannya. Sungguh, Biksu Wang
dapat melihat dengan jelas gambaran itu, karena di tempat yang nampaknya
menjadi lokasi berdiamnya pemimpin datu
ini, Biksu Wang dapat melihat dua buah arca Bhairawa yang tengah duduk di atas singgasana! (bab 13)
Selain itu keadaan sekitar yang
berhubungan dengan Sriwijaya pun saya coba untuk mengggalinya. Buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera
tulisan Gusti Asnan, dapat memberi gambaran keadaan pantai barat Sumatera. Walau
saya tak mendapatkan sesuatu yang detail untuk mendukung tulisan saya karena
setting waktu yang dipakai dalam buku ini cukup jauh, namun tetap saja saya
mendapatkan gambaran keadaan pantai barat Sumatera di masa lalu, kondisi
pulau-pulau, kebiasaan para bajak laut, arah mata angin, dll. Karena dari
sinilah kelak, petualangan bajak laut Kara Badai bermula, sebelum akhirnya ia
memutuskan memilih bergabung dengan Sriwijaya.
Keadaan masyarakat saat kisah
berlangsung banyak saya ambil dari buku Sejarah Sumatra tulisan William Marsden (2008), dan
Nusantara: Sejarah Indonesia tulisan Bernard H.M. Vlekke (2008). Di sini walau ada perbedaan
beberapa abad, saya pikir beberapanya masih sangat relevan, dan cukup bisa
diterima dalam setting saat itu. Kondisi masyarakat saat itu, keadaan
rumah-rumahnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, tumbuh-tumbuhan yang dikenal
saat itu, makanan-makanan, dan hal-hal lain yang saya pikir khas di masa
itu.
Pendekatan literatur tentang agama
Budha juga dilakukan. Tokoh Biksu Wang Hoi, guru Tunggasamudra pewaris aliran Liang Qiang, merupakan seorang biksu
yang tengah mengembara menyebarkan ajaran Budha hingga ke Sriwijaya. Keberadaan
seorang biksu di sana memanglah hal yang jamak. Saat itu Sriwijaya merupakan
pusat pembelajaran agama Budha. Ia menjadi tempat transit dari orang-orang dari
India yang ingin ke China, maupun sebaliknya. Studi literatur tentang Budha tak
hanya menyangkut ajaran Budha itu sendiri, namun hingga berupa hal-hal di luar
itu, seperti ucapan-ucapan Budha, pandangan-pandangan Budha tentang kehidupan
dan juga ilmu meditasi ala Budha. Seperti yang saya tuliskan di bab 18;
Sampai lama keduanya berada dalam keremangan ruangan
itu. Saat itu Dapunta
Cahyadawasuna memang tengah mengajarkan dhyana,
meditasi mengosongkan pikiran…
Setelah beberapa saat mencoba hingga beberapa kali,
barulah Dapunta Cahyadawasuna
memberi arahan untuk prajna,
meditasi untuk mengisi pikiran.
“Duduklah dengan tenang!” ujarnya kembali. “Pejamkan
mata untuk mengurangi gangguan. Alihkan perhatian pada napas, tapi kali ini
dengan memeditasikan dengan cara yang berbeda. Pusatkan perhatian pada proses
bernafas. Pada saat menarik napas, perhatikan bagaimana udara memenuhi
paru-paru dan menyebabkan rongga dada membesar. Ikuti aliran udara selagi
menghembuskan udara keluar melalui hidung…”
Yang paling menarik adalah saat
harus menggambarkan keadaan Sungai Musi. Saya pikir selain mengangkat
muatan sejarah, penting sekali menurut saya menuliskan tentang situasi sungai
yang sampai sekarang masih terus nampak luar biasa. Seperti tentang lebar
Sungai Musi saat itu, dan keadaan masyarakat di sekitar Sungai Musi, juga tentang
Batang Hari. Khusus yang terakhir, saya
juga mengikuti tulisan Selingan di Majalah
Tempo tentang Kerajaan di Tepian Batanghari, hingga dapat mengimajinasikan sambau-sambau berperang dengan adegan dramatik
di situ. Untuk lebih menguatkan kemegahannya, saya bahkan memasukkan 1-2
kalimat hasil penelitian terkininya.
Batang Hari sendiri merupakan perairan yang cukup luas.
Pada masa sekarang saja lebarnya mencapai 60 meter. Pada abad 8 dan 9,
penelitian menunjukkan lebar sungai ini mencapai 200 meter lebih. Ini
dibuktikan adanya kerak bekas air purba yang ada didaratan. Maka dengan lebar
lebih dari 150 tombak seperti
sekarang ini, beberapa sambau
dapat berjejer sekaligus saat melintasinya... (bab 16)
Tak
bisa saya pungkiri bila imajinasi memang sangat dominan di Pandaya Sriwijaya. Hal ini sangat berbeda saat saya menulis Untung Surapati, Sebuah Roman Sejarah (2011,
Tiga Serangkai). Dalam studi literasi tentang sosok pahlawan nasional itu,
terlalu banyak data yang beredar. Dalam Babad
Tanah Jawa kisah Untung Surapati telah ditulis dengan runtut. Sebagian
besar seting tempat masih terdeteksi dengan jelas, terlebih keadaannya ketika
menetap di Kartasura. Saya tak merasa cukup berhasil bermain-main imajinasi
untuk menulis novel itu. Hasil akhirnya saya merasa tak cukup puas dengan roman
itu. Berbeda dengan Pandaya Sriwijaya.
Saya merasa dengan terbatasnya data, dan eksporasi imajinasi dalam merangkai
kisah di novel itu, novel itu seakan tercipta seluruhnya dari kepala saya.
Pandaya Sriwijaya
memang saya tempatkan sebagai kitab kisah
satu kejadian kecil dari kemegahan Sriwijaya. Tak ada maksud menjadikannya lebih
dari itu. Sudah cukup bagi saya bila pembaca dapat mengikuti kisah-kisah yang
saya tuturkan, membayangkan duel-duel seru antar pendekarnya, mendapat
kejutan-kejutan dari intrik-intrik kala itu, atau hanyut dalam kisah cinta yang
menyayat hati. Itu saja.
Terima kasih.
*****
[1] Ini seperti terlihat dalam artikel Sastra Sejarah:
Imajinasi yang terus bertanya yang terbit di Kompas 22 Desember 2007, DR.
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra
sama-sama imajinatif[1].
Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika
yang otonom. Pendekatan New Historicism yang dicanangkan oleh Stephen
Greenblaat tahun 1982, dapat menjadi pikiran dalam menganalisis karya
sastra, sastra sejarah dan sejarah secara utuh. Sehingga muncul istilah
“kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain, membaca
sastra = membaca sejarah, dan membaca sejarah = membaca sastra, di mana aspek
sejarah sebagai konstruksi sosial.” Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya
sastra bukan sekedar latar belakang yang konheren dan menyatu. Sejarah sendiri
terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan.
Keterkaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual di
antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang
sama atau berbeda. Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan
dengan narasi. Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan
melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal,
pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan
keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan
imajinasi dari penulisnya.
[2] dalam bukunya Pengantar
Ilmu Sejarah (1995), dimana ia mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan
sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2].
Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan
perkataan lain bersifat subyektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan,
sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.
* tulisan ini merupakan materi diskusi Sriwijaya dalam Prosa dan Arkeolog, di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012, dimuat dalam buku Memori dan Imaji Nusantara.