Selasa, 06 November 2012

Mengimajinasikan Kisah dari Puzzle Sriwijaya



Adalah seorang bayi laki-laki yang dilahirkan dengan tiga tangan dan seorang bayi perempuan yang memiliki wangi bunga di tubuhnya. Bayi laki-laki yang dinamai Tunggasamudra itu kemudian berguru pada Biksu Wang Hoi, seorang pengelana ajaran Budha, dan mempelajari ilmu-ilmu sakti, sedang bayi perempuan yang dinamai Agiriya itu kemudian harus melarikan diri setelah Datu Jambi, kedatuan milik ayahnya dibinasakan. Seiring waktu, nasib mempertemukan keduanya dalam pemilihan Pandaya Sriwijaya, gelar pendekar paling tangguh yang diadakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Walau sosok Agiriya telah mengubah dirinya menjadi Sangda Alin, menyamarkan dirinya untuk membalas dendam pembinasa keluarganya. Kedua tokoh ini kemudian bertemu dengan Dapunta Cahyadawasuna, penerus tanah Talang Bantas dan Kara Badai, kepala perampok yang berniat membersihkan nama baik ayahnya. Juga tak ketinggalan Marga Sekta, pemuda pecundang yang benar-benar mencintai Agiriya dan terus mencarinya kemana pun Agiriya pergi, dengan sebuah alasan kuat, yang sangat mengerikan. Semuanya kemudian berkelindan oleh tujuan besar Balaputradewa untuk kembali membalas kekalahannya dari trah Sanjaya.
Begitu kira-kira sinopsis Pandaya Sriwijaya. Harus saya tuliskan lagi karena buku yang terbit tahun 2009 itu memang sudah tak lagi ditemukan di pasaran karena pihak penerbitnya tak lagi mencetak ulang.
Jujur saja saat saya memutuskan menulis Pandaya Sriwijaya, saya tak memiliki tujuan besar. Hanya sebagai orang yang terlahir di Palembang, saya merasa jarang sekali melihat buku-buku tentang kerajaan Sriwijaya. Toko-toko buku sepertinya hanya dipenuhi oleh buku-buku berlatar Majapahit dan Pasundan. Belum banyak yang menulis Sriwijaya. Alasan sentimental itulah yang membuat saya menulis Pandaya Sriwijaya, dan mempersembahkan buku itu untuk ibu saya yang memang asli orang Palembang.
Tapi keinginan itu terbentur dengan minimnya data yang ada. Data-data tentang Sriwijaya memang tidaklah banyak. Terlebih data-data Sriwijaya semasa abad 9 ke bawah. Bahkan dalam buku legendaris Bernard HM Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia yang terbit pertama kali tahun 1943, perihal tentang Sriwijaya hanya disinggung dalam beberapa kalimat. Ratusan tahun, Sriwijaya seakan terus menjadi puzzle yang belum bisa disusun keruntutannya. Bahkan bagian-bagian paling dasar sekali pun masih terus diperdebatkan.  
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan arkeolog dan epigrafi, mungkin karena raja-raja negeri tersebut sibuk mengurusi perdagangan ketimbang membangun kuil-kuil atau menulis kata-kata pujian (Le royaume de Crivijaya - George Coedes)
Satu buku yang saya pegang dengan erat saat penulisan novel ini adalah buku Sriwijaya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana (LKIS, 2006). Buku itu membawa saya pada perdebatan yang cukup seru sejak 100 tahun terakhir. Adalah George Coedes yang seperti memberi awalan perdebatan ini setelah merilis bukunya Le royaume de Crivijaya tahun 1918. Walau sebenarnya nama Sriwijaya sendiri sudah mulai terdengar sejak 1913 ketika Prof Kern menerbitkan Piagam Kota Kapur. Sejak itu pendapat baru yang mendukung maupun yang menentang terus hadir dalam perdebatan tentang Sriwijaya. Sebagian besar di dominasi oleh peneliti atau sejarawan dari luar.
Baru sejak tahun 1958 Drs. Soekmono mengemukakan teori baru tentang lokalisasi pusat Kerajaan Sriwijaya berdasarkan penyelidikan geomorfologi. Teori inilah yang kemudian membawa perdebatan seru antara dirinya dengan Prof. Dr. Slamet Muljana. Satu yang sangat dominan adalah mengenai letak dan tafsir sejarah kerajaan Sriwijaya. Soekmono yang menengarai bahwa letak Sriwijaya ada di Jambi, dan Slamet Muljana percaya bahwa Sriwijaya terletak di Palembang. Masing-masing pendapat itu memiliki argumentasi yang kuat. Slamet Muljana mengacu pada informasi Coedes mengenai nama Shih-li-foh-shih sebagai nama Sriwijaya, yang muncul dalam prasasti Ligor. Pendapat ini dikuatkan juga oleh Samuel Beal, orang Inggris pertama yang menerjemahkan langsung catatan-catatan Budha dari bahasa aslinya, China (1883). Perdebatan tentang Sriwijaya memang banyak mengacu pada berita Cina seperti dari catatan-catatan I-tsing dengan Memoire dan Record-nya, juga berdasarkan penafsiran terhadap prasasti-prasasti yang ditemukan.
Sebagai penulis novel sejarah saya menempatkan posisi sebagai pelari estafet selanjutnya dari para peneliti atau arkeolog atau sejarawan yang telah menjadi pelari estafet sebelumnya. Maka itu saya mengambil kesimpulan yang saya pikir paling logis, paling bisa dipertanggungjawabkan dan paling sesuai dengan kerangka kisah yang rencananya saya buat. Faktor ketiga ini dalam proses pembuatan novel sejarah yang saya lakukan, kadang dapat diabaikan dan menjadi faktor kesekian, namun khusus dalam penulisan Pandaya Sriwijaya ini, kerap menjadi sangat dominan.
Seperti saat saya mengawali kisah ini dari Prasasti Kedukan Bukit, yang dapat dikatakan menjadi latar novel ini.
“Swasti cri cakrawarsatita 605 ekadaci cu, klapaksa wulan waicakha dapunta hyang najik di, samwau mangalap siddhayatra di saptami cuklapaksa, wulan jyetha dapunta hyang marlepas dari minanga, tamwa mamawa yang wala dua laksa ko, dua ratus cara dismawau dengan jalan sariwu, tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang di matadanau, sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan asada, laghu mudita datang marwuat wanua, criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…”
 Terjemahan; “Bahagia! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas, bulan terang bulan Waisaka, Dapunta Hyang naik di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati. Pada hari kelima dari bulan terang bulan Asada dengan lega dan gembira datang membawa wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap ...”
Dari sinilah semua kisah berawal. Saya mengimajinasikan kejadian sebelumnya, dan kejadian selanjutnya. Karena tidak semua prasasti yang ditemukan serta catatan-catatan sejarah lainnya, memiliki posisi kuat untuk membangun novel saya, namun dari beberapa yang sudah diuraikan dari para ahli tersebut, saya dapatkan sebutan-sebutan yang umum tentang Sriwijaya pada masa itu, semisal sebutan tentang, Datu, Dapunta, Dapunta Hyang, Pu, sambau, dll. Sebutan-sebutan ini terus saya pakai untuk mendapatkan cita rasa Sriwijaya. Keadaannya cukup aman, karena penafsiran dari beberapa ahli cenderung sama.
Saya juga bermain di jalur aman dengan mendeskripsikan Sriwijaya seperti yang sudah banyak ditulis. Saya sadar ini beresiko menimbulkan ketidakluwesan sebuah novel. Namun saya pikir, di novel setebal 452 halaman tentu sah-sah saja membuat 1 paragraf yang kaku dan tidak luwes, seperti ini;
Sriwijaya sendiri merupakan sebuah nama dari bahasa Sanskerta. Sri berarti bercahaya dan wijaya berarti kemenangan. Sejak tahun 500an, orang-orang China, India dan Kmer sudah datang untuk berdagang. Orang China  menyebut bhumi ini San Fot T’si, sedang orang Arab menyebutnya Zabag, dan orang Khmer menyebutnya Malaya. Dalam bahasa Sanskerta sendiri, Sriwijaya sering disebut Yavadesh dan Javadeh… (bab 1)
Setidaknya saya merasa perlu menuliskan gambaran Sriwijaya saat itu, walau masih terasa labil di saat sekarang.
Selain itu untuk mendukung sebutan-sebutan yang sepertinya diaminin bersama itu, saya menindaklanjutinya dari berbagai sumber lainnya. Semisal saat membicarakan soal sambau, saya mengambil deskripsi dari pahatan-pahatan di Candi Borobudur, serta keadaan secara umum kapal-kapal kuno di abad yang lebih maju. Tentu dengan dramatisasi agar terlihat lebih garang, dan megah.
Selain bentuknya yang besar dan panjang, sambau Sriwijaya juga memiliki beberapa ciri khas lainnya. Bagian depan kapal nampak ditinggikan, hingga nampak menjulang tinggi. Lalu bagian buritannya nampak datar dan kotak, tanda disitulah ruangan perahu berada. Ini berbeda dengan perahu-perahu dari Gujarat dan Cina, yang biasanya bagian depan dan buritannya nampak hampir sama. Walau terbuat dari kayu yang mungkin sama, ada beberapa cara yang sedikit berlainan, terutama saat menyambung papan. Pada sambau sambungan dibuat dengan cara pena kayu, dimana hanya kayu yang dibuat sedemikian rupa sebagai alat penyambungnya. Ini tentu saja bisa menahan air asin dan tidak berkarat. Pada bagian tiang, tiang utamanya sengaja dibuat agak miring ke depan, untuk menopang layar yang berbentuk segi empat. Untuk layar penunjang biasanya menggunakan bentuk layar segitiga, yang lebih dikenal dengan nama layar sudu-sudu… (bab 2)
Namun cikal bakal kisah novel Pandaya Sriwijaya sendiri sebenarnya berawal dari kisah pahlawan Kandra Kayet, yang ditaklukan oleh pemberontak Tandrun Luah, seperti yang ada dalam Piagam Kota Kapur.
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandruh Luah. Tandruh Luah mati di medan pertempuran. Tapi bagaimana nasib Kayet yang berhasil membunuh itu? Juga Kayet berhasil di tumpas. Ingatlah akan kemenangan itu! Ia enggan tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu.
Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Sriwijaya! Dan kau, Tandruh Luah, dan para dewata  yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Jika pada saat mana pun di seluruh dunia wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu denan pengkhianat,…  
Saya mengambil seting waktu beberapa tahun setelah pemberontakan itu. Konsep dasar sebuah kisah silat: kebaikan melawan kejahatan, balas dendam, perebutan kekuasaan, intrik-intrik politik, cinta sejati, jurus-jurus sakti dengan level-level tertentu, saya padukan seluruhnya dalam novel 452 halaman itu.
Rahan Suja mengangguk, “Orang tua angkat Wantra Santra ternyata adalah… Dapunta Mahak Ilir. Ia merupakan pemberontak di Minanga Tamwa puluhan tahun lalu, yang mengobarkan Perang Merah melawan Dapunta Abdibawasepa. Bahkan, hamba juga mendapat kabar bila moyang Dapunta Mahak Ilir merupakan keturunan langsung dari pemberontak Kandra Kayet!” (bab 30)
Tidak adanya runtutan data sejarah yang lengkap, membuat saya berani menciptakan tokoh-tokoh sendiri di seting kala itu. Jujur saja, saya memang menempatkan Pandaya Sriwijaya cukup aman dari kronik sejarah Sriwijaya. Keempat tokoh utama yang saya ceritakan sejak awal, merupakan pelaku kecil yang ada dalam kronik kerajaan Sriwijaya yang besar dan megah. Hal ini saya lakukan karena keinginan saya mengeksplorasi tokoh-tokoh tersebut secara detail, walau eksporasi tokoh-tokoh ini tetap saya imbangi dengan keberadaan tokoh Balaputradewa yang terus disebut-sebut dalam kronik Sriwijaya. Saya mungkin tak cukup berani seperti halnya Niki Kosasih yang menciptakan kerajaan imajinatif bernama Madankara pada Saur Sepuh, atau Anchee Min yang dalam penutup novelnya Pearl of China mengaku terus terang telah memindahkan tahun kejadian salah satu pemberontakan, untuk mendapatkan efek emosional tokoh-tokoh rekaannya.
Saya pikir setiap penulis punya alasan sendiri melakukan hal ini. Terlebih posisi penulis novel sejarah, saya pikir sekarang ini lebih aman. DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif[1]. Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya. Namun tentu tak semua sependapat dengan itu, beberapa orang lebih mengamini pendapat Kuntowijoyo yang mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2]. Saya tak tahu dimana novel Pandaya Sriwijaya akan ditempatkan. Saya pikir itu bukan urusan saya. Namun pendapat mana pun yang dipercaya, tetap saja sebuah karya sastra harus memiliki kekuatan sedekat mungkin dengan kenyataan yang bisa dibayangkan pembaca.
Maka itulah untuk menunjang itu, studi literasi lainnya saya lakukan sebagai pelengkap dalam pengolahan jalinan kisah ini. Tak melulu mengenai kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Sriwijaya. Kerajaan-kerajaan (saat itu lebih kerap di sebut datu) seperti Muara Jambi, Talang Bantas, Minanga Tamwa, sudah cukup banyak dibahas di buku Sriwijaya milik Prof Dr. Slamet Muljana. Saya juga sempat menyinggung sedikit tentang kerajaan Dharmasraya yang ada dalam Selingan Majalah Tempo, tentang Dharmasraya; Kerajaan di Tepian Batanghari. Konon kerajaan yang masih sangat misterius keberadaannya ini memiliki seting waktu yang hampir sama dengan keberadaan Sriwijayaini dapat dilihat dari masuknya aliran Budha Wajrayana yang dianut Kerajaan Dharmasraya bersamaan dengan masuknya dinasti Sailendra ke Palembang, yaitu abad 8 -9 Masehi.
Seperti yang terjadi di Dharmasraya ini. Raja selalu disimbolkan dengan sosok Bhairawa, yaitu sesosok raksasa yang begitu menyeramkan dan tengah menaklukkan lawan-lawannya. Sungguh, Biksu Wang dapat melihat dengan jelas gambaran itu, karena di tempat yang nampaknya menjadi lokasi berdiamnya pemimpin datu ini, Biksu Wang dapat melihat dua buah arca Bhairawa yang tengah duduk di atas singgasana! (bab 13)
Selain itu keadaan sekitar yang berhubungan dengan Sriwijaya pun saya coba untuk mengggalinya. Buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera tulisan Gusti Asnan, dapat memberi gambaran keadaan pantai barat Sumatera. Walau saya tak mendapatkan sesuatu yang detail untuk mendukung tulisan saya karena setting waktu yang dipakai dalam buku ini cukup jauh, namun tetap saja saya mendapatkan gambaran keadaan pantai barat Sumatera di masa lalu, kondisi pulau-pulau, kebiasaan para bajak laut, arah mata angin, dll. Karena dari sinilah kelak, petualangan bajak laut Kara Badai bermula, sebelum akhirnya ia memutuskan memilih bergabung dengan Sriwijaya.
Keadaan masyarakat saat kisah berlangsung banyak saya ambil dari buku Sejarah Sumatra tulisan William Marsden (2008), dan Nusantara: Sejarah Indonesia tulisan Bernard H.M. Vlekke (2008). Di sini walau ada perbedaan beberapa abad, saya pikir beberapanya masih sangat relevan, dan cukup bisa diterima dalam setting saat itu. Kondisi masyarakat saat itu, keadaan rumah-rumahnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, tumbuh-tumbuhan yang dikenal saat itu, makanan-makanan, dan hal-hal lain yang saya pikir khas di masa itu. 
Pendekatan literatur tentang agama Budha juga dilakukan. Tokoh Biksu Wang Hoi, guru Tunggasamudra pewaris aliran Liang Qiang, merupakan seorang biksu yang tengah mengembara menyebarkan ajaran Budha hingga ke Sriwijaya. Keberadaan seorang biksu di sana memanglah hal yang jamak. Saat itu Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran agama Budha. Ia menjadi tempat transit dari orang-orang dari India yang ingin ke China, maupun sebaliknya. Studi literatur tentang Budha tak hanya menyangkut ajaran Budha itu sendiri, namun hingga berupa hal-hal di luar itu, seperti ucapan-ucapan Budha, pandangan-pandangan Budha tentang kehidupan dan juga ilmu meditasi ala Budha. Seperti yang saya tuliskan di bab 18;
Sampai lama keduanya berada dalam keremangan ruangan itu. Saat itu Dapunta Cahyadawasuna memang tengah mengajarkan dhyana, meditasi mengosongkan pikiran…
Setelah beberapa saat mencoba hingga beberapa kali, barulah Dapunta Cahyadawasuna memberi arahan untuk prajna, meditasi untuk mengisi pikiran.
“Duduklah dengan tenang!” ujarnya kembali. “Pejamkan mata untuk mengurangi gangguan. Alihkan perhatian pada napas, tapi kali ini dengan memeditasikan dengan cara yang berbeda. Pusatkan perhatian pada proses bernafas. Pada saat menarik napas, perhatikan bagaimana udara memenuhi paru-paru dan menyebabkan rongga dada membesar. Ikuti aliran udara selagi menghembuskan udara keluar melalui hidung…”
Yang paling menarik adalah saat harus menggambarkan keadaan Sungai Musi. Saya pikir selain mengangkat muatan sejarah, penting sekali menurut saya menuliskan tentang situasi sungai yang sampai sekarang masih terus nampak luar biasa. Seperti tentang lebar Sungai Musi saat itu, dan keadaan masyarakat di sekitar Sungai Musi, juga tentang Batang Hari. Khusus yang terakhir, saya juga mengikuti tulisan Selingan di Majalah Tempo tentang Kerajaan di Tepian Batanghari, hingga dapat mengimajinasikan sambau-sambau berperang dengan adegan dramatik di situ. Untuk lebih menguatkan kemegahannya, saya bahkan memasukkan 1-2 kalimat hasil penelitian terkininya.
Batang Hari sendiri merupakan perairan yang cukup luas. Pada masa sekarang saja lebarnya mencapai 60 meter. Pada abad 8 dan 9, penelitian menunjukkan lebar sungai ini mencapai 200 meter lebih. Ini dibuktikan adanya kerak bekas air purba yang ada didaratan. Maka dengan lebar lebih dari 150 tombak seperti sekarang ini, beberapa sambau dapat berjejer sekaligus saat melintasinya... (bab 16)
Tak bisa saya pungkiri bila imajinasi memang sangat dominan di Pandaya Sriwijaya. Hal ini sangat berbeda saat saya menulis Untung Surapati, Sebuah Roman Sejarah (2011, Tiga Serangkai). Dalam studi literasi tentang sosok pahlawan nasional itu, terlalu banyak data yang beredar. Dalam Babad Tanah Jawa kisah Untung Surapati telah ditulis dengan runtut. Sebagian besar seting tempat masih terdeteksi dengan jelas, terlebih keadaannya ketika menetap di Kartasura. Saya tak merasa cukup berhasil bermain-main imajinasi untuk menulis novel itu. Hasil akhirnya saya merasa tak cukup puas dengan roman itu. Berbeda dengan Pandaya Sriwijaya. Saya merasa dengan terbatasnya data, dan eksporasi imajinasi dalam merangkai kisah di novel itu, novel itu seakan tercipta seluruhnya dari kepala saya.
Pandaya Sriwijaya memang saya tempatkan sebagai kitab kisah satu kejadian kecil dari kemegahan Sriwijaya. Tak ada maksud menjadikannya lebih dari itu. Sudah cukup bagi saya bila pembaca dapat mengikuti kisah-kisah yang saya tuturkan, membayangkan duel-duel seru antar pendekarnya, mendapat kejutan-kejutan dari intrik-intrik kala itu, atau hanyut dalam kisah cinta yang menyayat hati. Itu saja.
Terima kasih.
*****
 

[1] Ini seperti terlihat dalam artikel Sastra Sejarah: Imajinasi yang terus bertanya yang terbit di Kompas 22 Desember 2007, DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif[1]. Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika yang otonom. Pendekatan New Historicism yang dicanangkan oleh Stephen Greenblaat tahun 1982, dapat menjadi pikiran dalam menganalisis karya sastra, sastra sejarah dan sejarah secara utuh. Sehingga muncul istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain, membaca sastra = membaca sejarah, dan membaca sejarah = membaca sastra, di mana aspek sejarah sebagai konstruksi sosial.” Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekedar latar belakang yang konheren dan menyatu. Sejarah sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda. Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya.
[2] dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah (1995), dimana ia mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2]. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subyektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.



* tulisan ini merupakan materi diskusi Sriwijaya dalam Prosa dan Arkeolog, di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012, dimuat dalam buku Memori dan Imaji Nusantara.

Perayaan di Kaki Borobudur, catatan kecil tentang Borobudur Writers and Cultural Festival 2012




Ini seperti di luar bayangan saya.
Saat pertama kali menerima telefon dari Imam Muhtarom untuk membicarakan Sriwijaya di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012 (BWCF 2012) dengan tema Musyawarah Agung Penulis penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara, saya masih merasa tak percaya. Novel yang sudah dirilis 4 tahun lalu itu, sebenarnya nyaris lenyap dari muka bumi. Bekasnya seperti samar-samar saja. Namun buku selalu punya nasibnya sendiri! Jadi saya mengiyakan saja tawaran itu. Awalnya saya kira ini festival biasa. Namun saat beberapa minggu kemudian, saat saya menerima proposalnya, ternyata dugaan saya salah.
Selain pembicara-pembicara senior, ada juga 150 peserta aktif yang diundang. Seluruhnya penulis-penulis ampuh di nusantara. Apalagi sebulan sebelum acara, saya sempat bertemu dengan Mas Seno Joko Suyono dan Imam Muhtarom, 2 konseptor acara selain Mbak Dorothea Rosa Herliani dan Wicaksono Adi, di Omah Sinten, Solo. Dari sini saya mulai merasakan keseriusan yang tak biasa!
Tiba-tiba saya merasa tak enak. Saya lihat lagi nama-nama seluruh pembicara, semuanya merupakan pembicara senior. Saya tiba-tiba merasa kecil sendiri. Saya bahkan sempat berpikir untuk menjadi peserta aktif saja. Tapi beberapa teman saya yang saya curhati malah bicara, “Siapa lagi yang sudah menulis Sriwijaya selain saya?”
Teman saya itu salah. Sebenarnya ada beberapa penulis lagi yang menulis tentang Sriwijaya. Tapi buku-buku itu memang terbit belakangan.

***

Tanggal 28 Oktober 2012, saya berangkat bersama seorang kawan penulis. Kami sempat kehabisan tiket kereta, namun segera nekat ke Gilingan untuk mencari travel ke Jogja. Untungnya ada travel yang segera meluncur, maka terangkutlah kami ke sana sebelum waktunya. Kami jadi bisa hadir di acara pembukaan BWCF 2012 yang diadakan di Hotel Royal Ambarukmo. DI sini saya pertama kali bertemu dengan Mbak Yuke Darmawan, ketua panitia acara, yang membuat kami terpana sejenak... J
Acara cukup menarik. Ada pemutaran film Sapardi Joko Damono oleh Yayasan Lontar. Awalnya yang diagendakan sebenarnya sosok Umar Kayam, namun karena satu dan lain hal film tersebut diganti. Ada juga presentasi Borobudur dari Toni Tack, dan yang paling ditunggu adalah penampilan dari Ayu Laksmi.
Pukul 17.00 wib acara selesai. Kami semua segera berangkat ke Borobudur.  Tujuan pertama adalah Rumah Budi. Walau namanya ndeso, tapi hotel etnik ini yang keren sekali. Di situlah acara selamat datang digelar. Saya bertemu lagi dengan Nassirun Purwokartun (penulis Penangsang) yang juga sama-sama dari Solo, juga Hermawan Aksan (penulis Niskala) yang dulu pernah saya temui di Ubud Writers and Readers Festibval 2010. Saya juga berkenalan dengan penulis-penulis baru seperti Fatih Zaim (penulis Jawara) dan Berlian Santosa (penulis Chan Pi). Namun sayangnya, saya harus perpisah dengan teman-teman yang hamper seluruhnya menginap di Rumah Tingal. Bersama beberapa senior lainnya, saya dibawa di Hotel Manohara, yang letaknya tepat di kaki Candi Borobudur.
Kamar saya ada di posisi paling ujung. Nomor 13. Bila malam suasana sekitar gelap sekali. Sepi. Tapi saya suka kamarnya. Suasana candi terasa sekali. Ada sebuah buku besar tentang Borobudur yang sengaja di buka. Halamannya yang terbuka kala saya datang adalah halaman 158. Dan saat saya meninggalkan kamar itu, saya sengaja meninggalkan posisinya di halaman 9. Itu angka keberuntungan saja… :)
Esoknya acara dimulai pukul 09.00 wib. Sebelum acara mulai saya bertemu dengan banyak penulis. Wajar toh semua undangan memang penulis. Ada Mas Arswendo Atmowiloto, Setiyono Djunaidi (penulis Glonggong), Rahmad Widada (penulis Gadis-gadis Amangkurat), Putra Gara (penulis Samudra Pasai), sastrawan senior Beni Setia, Mbak Dhewiberta dari Bentang, Mbak Windri dari Tiga Serangkai, dan Mas Reno dari Noura.
Sesi pertama dimulai dengan diskusi Imajinasi dalam Ruang Kosong Sejarah Nusantara. Pembicaranya: Arswendo Atmowiloto, Romo Budi Subanar, Sutrisno Murtiyoyo. Karena diskusi pertama, peserta begitu membludak. Beberapa orang saya lihat bahkan sampai berdiri di belakang. Diskucinya pun lancer dan ringan. Mas Arswendo seperti biasa tampil dengan cuek. Beberapa kata-katanya bahkan kemudian ditiru oleh pembicara lainnya, ‘Saya bisa menjawab semua pertanyaan. Soal benar atau tidaknya, saya gak tahu.” :)
Lalu disusul dengan sesi kedua, Kontroversi Gajah Mada dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah. Dengan pembicara-pembicara Agus Ari Munandar, Langit Kresna Hariadi dan Jakob Sumardjo. Menurut saya ini adalah sesi yang paling seru. Badai pertanyaan dan analisa terus terjadi sepanjang acara. Semua sepertinya berlomba-lomba bicara tentang Gajah Mada.  Beberapa peserta aktif menceritakan perihal Gajah mada dari versi yang mereka tahu dari folklor-folklor yang beredar selama ini. Alhasil sejarah tempat lahir dan makam Gajah Mada jadi seperti beredar di penjuru nusantara. Seorang peserta juga menyinggung tentang Perang Bubat dengan cara yang emosional. Namun untungnya moderator Viddy AD Diary cukup santai menanggapi ini dengan kelakarnya.
Malamnya saya datang ke Rumah Buku Dunia Tera. Karena para senior yang sehotel dengan saya tak ada yang tertarik datang di acara itu, maka hanya saya seorang diri yang dijemput oleh Mas Lilieh Rio. Hal ini berlangsung juga di hari-hari berikutnya.
Ada 2 acara malam itu. Pertama bedah buku Walisongo tulisan Damar Shasangka. Tapi berhubung penulisnya sakit, maka editor sekaligus pemilik Penerbit Dolphin, Salahudin GZ yang tampil solo. Ini pertama kalinya saya ketemu dengan Bang Sala yang selama ini saya temui di fb. Setelah itu acara peluncuran 3 buku dari penerbit Diva. Api Menoreh - Budi Sardjono, La Galigo  - Dul Abdurahman, dan Sabda Palon dan Noyo Genggong - Ardian Krisna.

***

Keesokan paginya adalah sesi saya: Sriwijaya dalam Novel dan Arkeologi.  Sebenarnya semalam beberapa teman mengajak untuk ngontel ke Borobudur, namun karena memikirkan sesi ini, saya mengurungkan niat. Jujur saja, sedikit, saya nervous juga. Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu penulis favorit saya. Hampir seluruh bukunya saya baca. Bahkan beberapa bukunya ada yang saya beli sampai dua kali, karena buku pertama sudah lecek terlalu banyak dipinjam. Sebenarnya saya pernah memoderatori Mas Seno di salah satu acara Mengenang Kho Ping Hoo sebulan lalu. Saat itu, saya sempat urung meminta tanda tangan karena kehilangan kata-kata di depannya.  Untunglah kali ini saya tak kehilangan kata-kata lagi, sehingga buku Nagabumi itu akhirnya ditandatangani J
Pembicara lainnya Bambang Budi Utomo adalah seorang arkeolog yang kerap sekali menjadi nara sumber di beberapa media. Tulisan tentang Dharmasraya di Majalah Tempo, yang saya petik di Pandaya Sriwijaya, bahkan merupakan  hasil dari wawancara dengan beliau.
Saya tak tahu apakah saya cukup berhasil membawakan materi. Terlebih yang dibicarakan di forum memang tak terlalu sama dengan paper yang saya kirim. Untungnya moderator Prof Timbul Haryono, walau sudah cukup sepuh,  ternyata cukup lucu. Saya jadi merasa tak mau kalah. Beberapa teman yang mencandai saya sebagai keturunan Itsing, membuat saya kemudian membuka sesi saya dengan ucapan, “Perlu klarifikasi sebentar. Saya penulis dari solo saja, bukan keturunan Itsing…”
Paper lengkap bisa dibaca di posting setelah ini.
Sesi keempat adalah Kontroversi Syeik Siti Djenar dalam Sastra dan Agama. Acara ini sebenarnya bisa jadi sangat kontroversi. Tapi ternyata acara di luar dugaan. Moderattor dianggap terlalu banyak menyimpulkan materi, sehingga beberapa senior yang tepat berada di belakang saya meminta seorang panitia untuk mengirimkan memo agar segera dibuka sesi  tanya jawab. Tapi karena waktu yang sudah sangat sedikit, sesi tanya jawab hanya berlangsung 1 kali termin. Saat acara selesai beberapa peserta mempertanyakan kenapa  dipilih 3 pembicara yang ada dalam satu aliran. Saya hanya mengangkat bahu, tak mengerti.
Malamnya di Dunia Tera, acara pertama dibuka dengan launcing buku Majapahit tulisan Langit Kresna Hariadi. Perdebatan tentang bagaimana sebuah novel dapat disebut novel sejarah kembali meruak. Permasalahan ini sebenarnya sudah terungkit sejak sesi pertama di hari pertama. Seorang peserta aktif kala itu, bahkan secara tegas meminta harus ada point-point tertentu agar sebuah novel layak disebut sebagai novel sejarah, bila tidak pembaca akan menjadi korban. Tapi tentu saja para penulis menolak. Beberapa bahkan sempat mengatakan penulis tidak bisa dikekang oleh aturan-aturan seperti itu. Sampai acara ini selesai, perdebatan tentang hal ini sepertinya tidak terakomodasi.
Acara kedua adalah launching buku puisi Manusia Gilimanuk - Mas Putu Fajar Arcana. Ada musikalisasi beberapa puisinya oleh Yolanda. Wayan Jengki juga sempat membacakan puisinya dengan suara yang keras tanpa mike. Saya membeli bukunya karena berhadiah CD. Dan akhir2 ini CD itu kerap sekali saya putar…
dalam ruang matamu
aku ingin berlayar
dengan perahu
yang kurakit
dengan serat jiwaku

Bayangkan saat mendengarnya, seorang perempuan manja tengah berbisik padamu…:)

***
Di hari ketiga keadaan sudah lumayan santai. Pagi dibuka dnegan berjalan-jalan di Candi Borobudur. Tak banyak peserta yang ikut, karena beberapa di antaranya sudah ke sana di hari-hari pertama. Dari Hotel Saya Manohara, hanya perlu 5 menit untuk sampai di bagian bawah candi.
Sesi kelima SH. Mintarja dan Matara, dibuka dengan pembicara Otto Sukatno, Supratikno Raharjo dan Teguh Supriyanto. Kisah-kisah maestro silat nusantara ini, membuat saya ingin membaca Naga Sasro & Sabuk Inten. Jujur saja selama ini saya memang melewatkan buku ini. Saya telah terbuai dengan Kho Ping Hoo, sehingga lebih memilih mencari judul-judul Kho Ping Hoo lainnya dari pada mencari penulis yang lain. Dari seorang teman berujar untuk mendapat seri lengkap Naga Sastra itu konon butuh 3 juta rupiah. Acara ini kali ini tak lagi seramai di hari pertama dan kedua. Keadaan mulai sepi. Beberapa peserta telah pulang. Hal ini juga terjadi di sesi keenam Napak Tilas Nusantara.
Padahal ini adalah sesi yang paling saya suka. Menampilkan Aan Permana Merdeka (penulis Perang Bubat), yang beberapa kali mengawali pembicaraan saat sarapan bersama saya dan bapak Jakob Sumardjo. Di sini baru saya ketahui Bapak Aan melakukan napak tilas di Jawa Barat untuk membuat novelnya dengan menjual sebuah mobil. Tapi yang paling mengagumkan adalah upaya Hadi Sidomulyo saat mempresentasikan napak tilasnya. Nama aslinya Nigel Bollough tapi ia memilih memakai nama Jawanya. Orangnya halus. Entahlah peneliti-peneliti budaya Jawa yang saya temui, selalu punya karakter seperti itu. Bahkan sepertinya lebih halus dari orang Jawa sendiri. Di sini beliau meruntut perjalanan Mpu Prapanca yang diangkat dari Serat Negarakertagama. Semua tempat-tempat yang disebutkan di serat itu didatangi oleh beliau. Semuanya bahkan disertai dengan foto-foto terkini. Tak heran kami semua hanyut dalam sesinya. Saat waktu buat beliau habis, sebenarnya saya ingin sekali berteriak supaya moderator menambahkan waktu untuknya.
Hal ini sama yang terjadi di pembicara ketiga Fendi Siregar. Beliau menapaktilasi tempat-tempat yang termaktub dalam Serat Centini. Mungkin karena beliau juga seorang fotografer, foto-foto yang dipresentasikan sangat berbeda dengan lainnya. Narasinya pun sedikit emosional. Ada kekalahan, ada ketakberdayaan, dan ada kesedihan. Satu petikannya pada foto perempuan yang tengah menayub, “Saat nayub, saya meminta suami saya mengantarnya sampai di ujung jalan saja. Saya tak ingin suami melihat kala saya menayub…”
Satu kesimpulan setelah presentasinya selesai adalah: semua tempat yang disebutkan dalam serat Centini ternyata terdapat sebuah makam! Pak Fendi bahkan menantang para penulis untuk menulis kisah-kisah ini, karena begitu penuh drama.
Sunguh, saya suka sekali sesi keenam ini. Menurut saya ini sesi terbaik dari semua sesi yang ada. Banyak sekali yang saya dapatkan di sesi ini. Kelak saya berharap bisa bertemu lagi dengan keduanya. Minimal menemukan buku-buku yang ditulis oleh mereka berdua.
Selesai sesi ini kami kemudian pulang untuk melanjutkan di acara penutupan berlangsung di Sheraton Hotel, Yogyakarta.  Sebenarnya saya masih direncanakan pulang kembali ke Manohara setelah itu. Tapi 2 kawan saya lainnya malah mengajak saya agar langsung pulang saja.
Acara penutupan berlangsung sangat mewat. Agenda terpentingnya adalah pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan kepada SH. Mintardja. Namun saying, di acara pamungkas ini hujan ternyata tak bisa diajak kompromi. Kami pun berhampuran. Kami memutuskan pulang karena harus melanjutkan perjalanan ke Solo. Namun kami terjebak di kanopi Sheraton. Dari kanopi Sheraton menuju jalan besar bukanlah jalan yang pendek. Untunglah, ada seseorang peserta yang baru saja meminjam mobil panitia, alhasil kami pun dapat diantar olehnya. Sialnya saat sampai di pos polisi, ia ternyata lupa membawa kartu parkir. Jadi kami pun terpaksa turun di depan gerbang.
Di perjalanan saya berpikir, semoga festival ini bisa terus ada. Rasa lokalitas dan atmosfer budaya begitu terasa dari awal hingga akhir, tanpa perlu merasa terjejali oleh hal-hal berbau normatif.
Terima kasih buat panitia yang sudah membuat acara luar biasa ini.

***

foto pertama koleksi panitia
foto keempat koleksi Berlian Santoso
foto ketiga koleksi Arman Az
foto lainnya koleksi pribadi