Selasa, 06 November 2012

Mengimajinasikan Kisah dari Puzzle Sriwijaya



Adalah seorang bayi laki-laki yang dilahirkan dengan tiga tangan dan seorang bayi perempuan yang memiliki wangi bunga di tubuhnya. Bayi laki-laki yang dinamai Tunggasamudra itu kemudian berguru pada Biksu Wang Hoi, seorang pengelana ajaran Budha, dan mempelajari ilmu-ilmu sakti, sedang bayi perempuan yang dinamai Agiriya itu kemudian harus melarikan diri setelah Datu Jambi, kedatuan milik ayahnya dibinasakan. Seiring waktu, nasib mempertemukan keduanya dalam pemilihan Pandaya Sriwijaya, gelar pendekar paling tangguh yang diadakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Walau sosok Agiriya telah mengubah dirinya menjadi Sangda Alin, menyamarkan dirinya untuk membalas dendam pembinasa keluarganya. Kedua tokoh ini kemudian bertemu dengan Dapunta Cahyadawasuna, penerus tanah Talang Bantas dan Kara Badai, kepala perampok yang berniat membersihkan nama baik ayahnya. Juga tak ketinggalan Marga Sekta, pemuda pecundang yang benar-benar mencintai Agiriya dan terus mencarinya kemana pun Agiriya pergi, dengan sebuah alasan kuat, yang sangat mengerikan. Semuanya kemudian berkelindan oleh tujuan besar Balaputradewa untuk kembali membalas kekalahannya dari trah Sanjaya.
Begitu kira-kira sinopsis Pandaya Sriwijaya. Harus saya tuliskan lagi karena buku yang terbit tahun 2009 itu memang sudah tak lagi ditemukan di pasaran karena pihak penerbitnya tak lagi mencetak ulang.
Jujur saja saat saya memutuskan menulis Pandaya Sriwijaya, saya tak memiliki tujuan besar. Hanya sebagai orang yang terlahir di Palembang, saya merasa jarang sekali melihat buku-buku tentang kerajaan Sriwijaya. Toko-toko buku sepertinya hanya dipenuhi oleh buku-buku berlatar Majapahit dan Pasundan. Belum banyak yang menulis Sriwijaya. Alasan sentimental itulah yang membuat saya menulis Pandaya Sriwijaya, dan mempersembahkan buku itu untuk ibu saya yang memang asli orang Palembang.
Tapi keinginan itu terbentur dengan minimnya data yang ada. Data-data tentang Sriwijaya memang tidaklah banyak. Terlebih data-data Sriwijaya semasa abad 9 ke bawah. Bahkan dalam buku legendaris Bernard HM Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia yang terbit pertama kali tahun 1943, perihal tentang Sriwijaya hanya disinggung dalam beberapa kalimat. Ratusan tahun, Sriwijaya seakan terus menjadi puzzle yang belum bisa disusun keruntutannya. Bahkan bagian-bagian paling dasar sekali pun masih terus diperdebatkan.  
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan arkeolog dan epigrafi, mungkin karena raja-raja negeri tersebut sibuk mengurusi perdagangan ketimbang membangun kuil-kuil atau menulis kata-kata pujian (Le royaume de Crivijaya - George Coedes)
Satu buku yang saya pegang dengan erat saat penulisan novel ini adalah buku Sriwijaya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana (LKIS, 2006). Buku itu membawa saya pada perdebatan yang cukup seru sejak 100 tahun terakhir. Adalah George Coedes yang seperti memberi awalan perdebatan ini setelah merilis bukunya Le royaume de Crivijaya tahun 1918. Walau sebenarnya nama Sriwijaya sendiri sudah mulai terdengar sejak 1913 ketika Prof Kern menerbitkan Piagam Kota Kapur. Sejak itu pendapat baru yang mendukung maupun yang menentang terus hadir dalam perdebatan tentang Sriwijaya. Sebagian besar di dominasi oleh peneliti atau sejarawan dari luar.
Baru sejak tahun 1958 Drs. Soekmono mengemukakan teori baru tentang lokalisasi pusat Kerajaan Sriwijaya berdasarkan penyelidikan geomorfologi. Teori inilah yang kemudian membawa perdebatan seru antara dirinya dengan Prof. Dr. Slamet Muljana. Satu yang sangat dominan adalah mengenai letak dan tafsir sejarah kerajaan Sriwijaya. Soekmono yang menengarai bahwa letak Sriwijaya ada di Jambi, dan Slamet Muljana percaya bahwa Sriwijaya terletak di Palembang. Masing-masing pendapat itu memiliki argumentasi yang kuat. Slamet Muljana mengacu pada informasi Coedes mengenai nama Shih-li-foh-shih sebagai nama Sriwijaya, yang muncul dalam prasasti Ligor. Pendapat ini dikuatkan juga oleh Samuel Beal, orang Inggris pertama yang menerjemahkan langsung catatan-catatan Budha dari bahasa aslinya, China (1883). Perdebatan tentang Sriwijaya memang banyak mengacu pada berita Cina seperti dari catatan-catatan I-tsing dengan Memoire dan Record-nya, juga berdasarkan penafsiran terhadap prasasti-prasasti yang ditemukan.
Sebagai penulis novel sejarah saya menempatkan posisi sebagai pelari estafet selanjutnya dari para peneliti atau arkeolog atau sejarawan yang telah menjadi pelari estafet sebelumnya. Maka itu saya mengambil kesimpulan yang saya pikir paling logis, paling bisa dipertanggungjawabkan dan paling sesuai dengan kerangka kisah yang rencananya saya buat. Faktor ketiga ini dalam proses pembuatan novel sejarah yang saya lakukan, kadang dapat diabaikan dan menjadi faktor kesekian, namun khusus dalam penulisan Pandaya Sriwijaya ini, kerap menjadi sangat dominan.
Seperti saat saya mengawali kisah ini dari Prasasti Kedukan Bukit, yang dapat dikatakan menjadi latar novel ini.
“Swasti cri cakrawarsatita 605 ekadaci cu, klapaksa wulan waicakha dapunta hyang najik di, samwau mangalap siddhayatra di saptami cuklapaksa, wulan jyetha dapunta hyang marlepas dari minanga, tamwa mamawa yang wala dua laksa ko, dua ratus cara dismawau dengan jalan sariwu, tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang di matadanau, sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan asada, laghu mudita datang marwuat wanua, criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…”
 Terjemahan; “Bahagia! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas, bulan terang bulan Waisaka, Dapunta Hyang naik di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati. Pada hari kelima dari bulan terang bulan Asada dengan lega dan gembira datang membawa wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap ...”
Dari sinilah semua kisah berawal. Saya mengimajinasikan kejadian sebelumnya, dan kejadian selanjutnya. Karena tidak semua prasasti yang ditemukan serta catatan-catatan sejarah lainnya, memiliki posisi kuat untuk membangun novel saya, namun dari beberapa yang sudah diuraikan dari para ahli tersebut, saya dapatkan sebutan-sebutan yang umum tentang Sriwijaya pada masa itu, semisal sebutan tentang, Datu, Dapunta, Dapunta Hyang, Pu, sambau, dll. Sebutan-sebutan ini terus saya pakai untuk mendapatkan cita rasa Sriwijaya. Keadaannya cukup aman, karena penafsiran dari beberapa ahli cenderung sama.
Saya juga bermain di jalur aman dengan mendeskripsikan Sriwijaya seperti yang sudah banyak ditulis. Saya sadar ini beresiko menimbulkan ketidakluwesan sebuah novel. Namun saya pikir, di novel setebal 452 halaman tentu sah-sah saja membuat 1 paragraf yang kaku dan tidak luwes, seperti ini;
Sriwijaya sendiri merupakan sebuah nama dari bahasa Sanskerta. Sri berarti bercahaya dan wijaya berarti kemenangan. Sejak tahun 500an, orang-orang China, India dan Kmer sudah datang untuk berdagang. Orang China  menyebut bhumi ini San Fot T’si, sedang orang Arab menyebutnya Zabag, dan orang Khmer menyebutnya Malaya. Dalam bahasa Sanskerta sendiri, Sriwijaya sering disebut Yavadesh dan Javadeh… (bab 1)
Setidaknya saya merasa perlu menuliskan gambaran Sriwijaya saat itu, walau masih terasa labil di saat sekarang.
Selain itu untuk mendukung sebutan-sebutan yang sepertinya diaminin bersama itu, saya menindaklanjutinya dari berbagai sumber lainnya. Semisal saat membicarakan soal sambau, saya mengambil deskripsi dari pahatan-pahatan di Candi Borobudur, serta keadaan secara umum kapal-kapal kuno di abad yang lebih maju. Tentu dengan dramatisasi agar terlihat lebih garang, dan megah.
Selain bentuknya yang besar dan panjang, sambau Sriwijaya juga memiliki beberapa ciri khas lainnya. Bagian depan kapal nampak ditinggikan, hingga nampak menjulang tinggi. Lalu bagian buritannya nampak datar dan kotak, tanda disitulah ruangan perahu berada. Ini berbeda dengan perahu-perahu dari Gujarat dan Cina, yang biasanya bagian depan dan buritannya nampak hampir sama. Walau terbuat dari kayu yang mungkin sama, ada beberapa cara yang sedikit berlainan, terutama saat menyambung papan. Pada sambau sambungan dibuat dengan cara pena kayu, dimana hanya kayu yang dibuat sedemikian rupa sebagai alat penyambungnya. Ini tentu saja bisa menahan air asin dan tidak berkarat. Pada bagian tiang, tiang utamanya sengaja dibuat agak miring ke depan, untuk menopang layar yang berbentuk segi empat. Untuk layar penunjang biasanya menggunakan bentuk layar segitiga, yang lebih dikenal dengan nama layar sudu-sudu… (bab 2)
Namun cikal bakal kisah novel Pandaya Sriwijaya sendiri sebenarnya berawal dari kisah pahlawan Kandra Kayet, yang ditaklukan oleh pemberontak Tandrun Luah, seperti yang ada dalam Piagam Kota Kapur.
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandruh Luah. Tandruh Luah mati di medan pertempuran. Tapi bagaimana nasib Kayet yang berhasil membunuh itu? Juga Kayet berhasil di tumpas. Ingatlah akan kemenangan itu! Ia enggan tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu.
Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Sriwijaya! Dan kau, Tandruh Luah, dan para dewata  yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Jika pada saat mana pun di seluruh dunia wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu denan pengkhianat,…  
Saya mengambil seting waktu beberapa tahun setelah pemberontakan itu. Konsep dasar sebuah kisah silat: kebaikan melawan kejahatan, balas dendam, perebutan kekuasaan, intrik-intrik politik, cinta sejati, jurus-jurus sakti dengan level-level tertentu, saya padukan seluruhnya dalam novel 452 halaman itu.
Rahan Suja mengangguk, “Orang tua angkat Wantra Santra ternyata adalah… Dapunta Mahak Ilir. Ia merupakan pemberontak di Minanga Tamwa puluhan tahun lalu, yang mengobarkan Perang Merah melawan Dapunta Abdibawasepa. Bahkan, hamba juga mendapat kabar bila moyang Dapunta Mahak Ilir merupakan keturunan langsung dari pemberontak Kandra Kayet!” (bab 30)
Tidak adanya runtutan data sejarah yang lengkap, membuat saya berani menciptakan tokoh-tokoh sendiri di seting kala itu. Jujur saja, saya memang menempatkan Pandaya Sriwijaya cukup aman dari kronik sejarah Sriwijaya. Keempat tokoh utama yang saya ceritakan sejak awal, merupakan pelaku kecil yang ada dalam kronik kerajaan Sriwijaya yang besar dan megah. Hal ini saya lakukan karena keinginan saya mengeksplorasi tokoh-tokoh tersebut secara detail, walau eksporasi tokoh-tokoh ini tetap saya imbangi dengan keberadaan tokoh Balaputradewa yang terus disebut-sebut dalam kronik Sriwijaya. Saya mungkin tak cukup berani seperti halnya Niki Kosasih yang menciptakan kerajaan imajinatif bernama Madankara pada Saur Sepuh, atau Anchee Min yang dalam penutup novelnya Pearl of China mengaku terus terang telah memindahkan tahun kejadian salah satu pemberontakan, untuk mendapatkan efek emosional tokoh-tokoh rekaannya.
Saya pikir setiap penulis punya alasan sendiri melakukan hal ini. Terlebih posisi penulis novel sejarah, saya pikir sekarang ini lebih aman. DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif[1]. Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya. Namun tentu tak semua sependapat dengan itu, beberapa orang lebih mengamini pendapat Kuntowijoyo yang mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2]. Saya tak tahu dimana novel Pandaya Sriwijaya akan ditempatkan. Saya pikir itu bukan urusan saya. Namun pendapat mana pun yang dipercaya, tetap saja sebuah karya sastra harus memiliki kekuatan sedekat mungkin dengan kenyataan yang bisa dibayangkan pembaca.
Maka itulah untuk menunjang itu, studi literasi lainnya saya lakukan sebagai pelengkap dalam pengolahan jalinan kisah ini. Tak melulu mengenai kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Sriwijaya. Kerajaan-kerajaan (saat itu lebih kerap di sebut datu) seperti Muara Jambi, Talang Bantas, Minanga Tamwa, sudah cukup banyak dibahas di buku Sriwijaya milik Prof Dr. Slamet Muljana. Saya juga sempat menyinggung sedikit tentang kerajaan Dharmasraya yang ada dalam Selingan Majalah Tempo, tentang Dharmasraya; Kerajaan di Tepian Batanghari. Konon kerajaan yang masih sangat misterius keberadaannya ini memiliki seting waktu yang hampir sama dengan keberadaan Sriwijayaini dapat dilihat dari masuknya aliran Budha Wajrayana yang dianut Kerajaan Dharmasraya bersamaan dengan masuknya dinasti Sailendra ke Palembang, yaitu abad 8 -9 Masehi.
Seperti yang terjadi di Dharmasraya ini. Raja selalu disimbolkan dengan sosok Bhairawa, yaitu sesosok raksasa yang begitu menyeramkan dan tengah menaklukkan lawan-lawannya. Sungguh, Biksu Wang dapat melihat dengan jelas gambaran itu, karena di tempat yang nampaknya menjadi lokasi berdiamnya pemimpin datu ini, Biksu Wang dapat melihat dua buah arca Bhairawa yang tengah duduk di atas singgasana! (bab 13)
Selain itu keadaan sekitar yang berhubungan dengan Sriwijaya pun saya coba untuk mengggalinya. Buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera tulisan Gusti Asnan, dapat memberi gambaran keadaan pantai barat Sumatera. Walau saya tak mendapatkan sesuatu yang detail untuk mendukung tulisan saya karena setting waktu yang dipakai dalam buku ini cukup jauh, namun tetap saja saya mendapatkan gambaran keadaan pantai barat Sumatera di masa lalu, kondisi pulau-pulau, kebiasaan para bajak laut, arah mata angin, dll. Karena dari sinilah kelak, petualangan bajak laut Kara Badai bermula, sebelum akhirnya ia memutuskan memilih bergabung dengan Sriwijaya.
Keadaan masyarakat saat kisah berlangsung banyak saya ambil dari buku Sejarah Sumatra tulisan William Marsden (2008), dan Nusantara: Sejarah Indonesia tulisan Bernard H.M. Vlekke (2008). Di sini walau ada perbedaan beberapa abad, saya pikir beberapanya masih sangat relevan, dan cukup bisa diterima dalam setting saat itu. Kondisi masyarakat saat itu, keadaan rumah-rumahnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya, tumbuh-tumbuhan yang dikenal saat itu, makanan-makanan, dan hal-hal lain yang saya pikir khas di masa itu. 
Pendekatan literatur tentang agama Budha juga dilakukan. Tokoh Biksu Wang Hoi, guru Tunggasamudra pewaris aliran Liang Qiang, merupakan seorang biksu yang tengah mengembara menyebarkan ajaran Budha hingga ke Sriwijaya. Keberadaan seorang biksu di sana memanglah hal yang jamak. Saat itu Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran agama Budha. Ia menjadi tempat transit dari orang-orang dari India yang ingin ke China, maupun sebaliknya. Studi literatur tentang Budha tak hanya menyangkut ajaran Budha itu sendiri, namun hingga berupa hal-hal di luar itu, seperti ucapan-ucapan Budha, pandangan-pandangan Budha tentang kehidupan dan juga ilmu meditasi ala Budha. Seperti yang saya tuliskan di bab 18;
Sampai lama keduanya berada dalam keremangan ruangan itu. Saat itu Dapunta Cahyadawasuna memang tengah mengajarkan dhyana, meditasi mengosongkan pikiran…
Setelah beberapa saat mencoba hingga beberapa kali, barulah Dapunta Cahyadawasuna memberi arahan untuk prajna, meditasi untuk mengisi pikiran.
“Duduklah dengan tenang!” ujarnya kembali. “Pejamkan mata untuk mengurangi gangguan. Alihkan perhatian pada napas, tapi kali ini dengan memeditasikan dengan cara yang berbeda. Pusatkan perhatian pada proses bernafas. Pada saat menarik napas, perhatikan bagaimana udara memenuhi paru-paru dan menyebabkan rongga dada membesar. Ikuti aliran udara selagi menghembuskan udara keluar melalui hidung…”
Yang paling menarik adalah saat harus menggambarkan keadaan Sungai Musi. Saya pikir selain mengangkat muatan sejarah, penting sekali menurut saya menuliskan tentang situasi sungai yang sampai sekarang masih terus nampak luar biasa. Seperti tentang lebar Sungai Musi saat itu, dan keadaan masyarakat di sekitar Sungai Musi, juga tentang Batang Hari. Khusus yang terakhir, saya juga mengikuti tulisan Selingan di Majalah Tempo tentang Kerajaan di Tepian Batanghari, hingga dapat mengimajinasikan sambau-sambau berperang dengan adegan dramatik di situ. Untuk lebih menguatkan kemegahannya, saya bahkan memasukkan 1-2 kalimat hasil penelitian terkininya.
Batang Hari sendiri merupakan perairan yang cukup luas. Pada masa sekarang saja lebarnya mencapai 60 meter. Pada abad 8 dan 9, penelitian menunjukkan lebar sungai ini mencapai 200 meter lebih. Ini dibuktikan adanya kerak bekas air purba yang ada didaratan. Maka dengan lebar lebih dari 150 tombak seperti sekarang ini, beberapa sambau dapat berjejer sekaligus saat melintasinya... (bab 16)
Tak bisa saya pungkiri bila imajinasi memang sangat dominan di Pandaya Sriwijaya. Hal ini sangat berbeda saat saya menulis Untung Surapati, Sebuah Roman Sejarah (2011, Tiga Serangkai). Dalam studi literasi tentang sosok pahlawan nasional itu, terlalu banyak data yang beredar. Dalam Babad Tanah Jawa kisah Untung Surapati telah ditulis dengan runtut. Sebagian besar seting tempat masih terdeteksi dengan jelas, terlebih keadaannya ketika menetap di Kartasura. Saya tak merasa cukup berhasil bermain-main imajinasi untuk menulis novel itu. Hasil akhirnya saya merasa tak cukup puas dengan roman itu. Berbeda dengan Pandaya Sriwijaya. Saya merasa dengan terbatasnya data, dan eksporasi imajinasi dalam merangkai kisah di novel itu, novel itu seakan tercipta seluruhnya dari kepala saya.
Pandaya Sriwijaya memang saya tempatkan sebagai kitab kisah satu kejadian kecil dari kemegahan Sriwijaya. Tak ada maksud menjadikannya lebih dari itu. Sudah cukup bagi saya bila pembaca dapat mengikuti kisah-kisah yang saya tuturkan, membayangkan duel-duel seru antar pendekarnya, mendapat kejutan-kejutan dari intrik-intrik kala itu, atau hanyut dalam kisah cinta yang menyayat hati. Itu saja.
Terima kasih.
*****
 

[1] Ini seperti terlihat dalam artikel Sastra Sejarah: Imajinasi yang terus bertanya yang terbit di Kompas 22 Desember 2007, DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI, menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif[1]. Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika yang otonom. Pendekatan New Historicism yang dicanangkan oleh Stephen Greenblaat tahun 1982, dapat menjadi pikiran dalam menganalisis karya sastra, sastra sejarah dan sejarah secara utuh. Sehingga muncul istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain, membaca sastra = membaca sejarah, dan membaca sejarah = membaca sastra, di mana aspek sejarah sebagai konstruksi sosial.” Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekedar latar belakang yang konheren dan menyatu. Sejarah sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda. Sastra semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misalnya: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya.
[2] dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah (1995), dimana ia mengatakan bahwa sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulannya[2]. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subyektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya.



* tulisan ini merupakan materi diskusi Sriwijaya dalam Prosa dan Arkeolog, di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012, dimuat dalam buku Memori dan Imaji Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar