Minggu, 13 Desember 2009

bab 9 : Lelaki Gila dengan Guratan Peta Di punggungnya

9
Lelaki Gila dengan Guratan Peta Dipunggungnya

Muara Air Gala merupakan tanah yang terbentuk dari salah satu muara Sungai Musi. Dulunya ia merupakan daerah rawa yang telah mengering. Beberapa keluarga dari selatan, kemudian mencoba meninggalinya dan bercocok tanam di situ. Puluhan tahun kemudian, keadaan Muara Air Gala pun perlahan-lahan berubah. Hingga kini menjadi tanah yang ramai dan cukup maju. Satu ciri khas dari Muara Air Gala ini adalah buah-buahannya yang melimpah. Di pasar yang ada di pusat datu, banyak pedagang menggelar dagangan buah. Posisinya yang terlihat dari arah pantai, membuat beberapa orang yang tengah melintas, kemudian menyambanginya. Inilah yang kemudian membuat pasar Muara Air Gala menjadi pasar yang teramai disepanjang pantai timur Sriwijaya. Para pedagang biasanya akan menggunakan semacam kain yang telah usang sebagai alas dagangan mereka. Walau kepeng emang dan kepeng perak telah berlaku disana, namun penjualan dan pembelian secara tukar-menukar masih sangat lazim terjadi. Maka itulah, baru beberapa purnama lalu, Kedatuan Sriwijaya di Telaga Batu, kemudian memilihnya sebagai salah satu daerah perdatuan Sriwijaya. Setiap hari, keramaian yang dimulai jauh sebelum matahari muncul, semakin bertambah dan terus bertambah. Seperti pagi ini. Beberapa pedagang sudah mulai terlihat sibuk menurunkan barang-barang dagangan mereka dari tepi pantai. Namun ada yang berbeda di hari ini. Para pedagang yang datang paling pagi, dikejutkan dengan munculnya seorang lelaki tanpa pakaian, yang hanya diam duduk di dekat undak-undakan batu, yang menjadi tempat sesembahan para pagan. Tak ada yang tahu dari mana orang itu muncul. Sehari sebelumnya belum ada seorang pun penduduk yang melihat kemunculannya. Seiring munculnya sinar matahari, penduduk mulai bisa mengamati dengan jelas. Lelaki itu berambut panjang dan nampak tak terawat. Tubuhnya begitu kotor dan sangat kurus, hingga tulang-tulang perutnya begitu jelas terlihat. Ia sama sekali tak mengganggu. Hanya duduk diam, sambil menutup matanya dalam posisi bersila. Maka itulah, awalnya orang-orang menyangka lelaki itu sedang melakukan meditasi. Namun melihat ketelanjangannya, mereka pun menyimpulkan kalau orang ini adalah orang gila! Beberapa orang kemudian berusaha mengusirnya. Namun orang gila itu sama sekali tak bergeser sedikit pun. Ia tetap duduk di situ, sambil memejamkan mata, tak hirau akan apapun. Akhirnya seseorang penduduk berinisiatif memanggil beberapa prajurit yang ada diperdatuan mereka. Tak lama kemudian, dua orang prajurit dengan tombak di tangan, segera mendekatinya. “Minggir!” seorang mendorong lelaki itu dengan kakinya. Tapi lelaki gila itu tetap bergeming. “MINGGIR!” prajurit itu berteriak makin keras, diiringi tendangannya yang penuh tenaga. Kali ini lelaki gila itu terdorong. Ia jatuh, dan matanya pun terbuka. Tiba-tiba dirinya yang semula tenang, mendadak terlihat begitu ketakutan. Tubuhnya terlihat menggigil. Giginya bergemeretak sedemikan kerasnya, hingga beberapa penduduk yang ada disitu pun dapat mendengar gemeretakannya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya mundur menjauhi dua prajurit itu. Sesaat dua prajurit dan para penduduk disitu hanya bisa memperhatikannya. Namun prajurit yang tadi menendangnya, kembali mendekatinya. “Pergi dari sini!” ujarnya sambil kembali mendorong dengan kakinya. Orang gila itu kembali terjatuh. Kali ini tubuhnya hingga mengkurap di tanah. Dan ketika prajurit itu akan kembali mendorongnya, rekannya yang sejak tadi diam, menghentikan gerakannya. Tiba-tiba ia melangkah, dan duduk di dekat tubuh lelaki gila yang telungkup itu. Matanya seakan melihat sesuatu di punggung lelaki gila itu. Namun kotoran yang memenuhi punggung itu mengaburkannya. “Ada apa?” temannya ikut mendekati, dengan tak mengerti. “Ambilkan air!” prajurit itu malah berteriak. Seseorang penduduk yang berdiri memegang kendi air dari ruas bambu, segera menyodorkannya. Prajurit itu pun segera mengguyur punggung lelaki gila itu. Lalu ia segera membasuhnya dengan tangannya… “Ini… seperti sebuah peta…” temannya berucap tak yakin. Prajurit itu kembali memperhatikan dengan seksama. Matanya memicing. Sebuah kata kemudian terbaca oleh matanya : Bajak Laut. Lalu sebuah kata panjang, sama sekali tak terbaca. Namun satu kata terakhir dapat dibacanya kembali : Karang. Ia menelan ludah, “Bajak Laut… Karang?” ia berpikir mencoba mencari kata yang ada di tengah. Namun detik itu, matanya membulat. Jelas sekali bila ia teringat sesuatu. “Bajak Laut.. Semenanjung… Karang?” desisnya tak percaya.

*****

Namanya bukanlah sesuatu yang penting, seperti juga keberadaannya yang tidaklah penting. Ketika lelaki gila itu dibawa berkeliling desa, tak ada seorang pun yang mengenalinya. Ia seakan terlupa bila pernah dilahirkan di bhumi ini. Namun andai dirinya yang selalu memandang penuh ketakutan itu bisa bercerita, ia pastilah akan bercerita tentang ketakutannya pada malam itu. Di saat, secara mengejutkan sembilan atau sepuluh buah perahu, yang entah datang dari mana, tiba-tiba telah mengepung sambau tuannya. Ia bukan prajurit di kapal itu. Seumur hidupnya ia bahkan tak pernah memegang pedang. Yang dilakukannya hanya melayani tuannya yang menjadi Panglima Muda di kapal itu. Lalu kegaduhan pun terjadi saat orang-orang di perahu-perahu kecil itu berusaha naik ke sambau tuannya. Ketakutannya memuncak. Ia mencoba bersembunyi di balik kotak-kotak kayu milik tuannya. Namun itu sama sekali tak menghilangkan ketakutannya. Kegaduhan malah makin terasa dekat. Ia bisa merasakan orang-orang dari perahu-perahu itu telah berada di kapal tuannya. Ia juga merasakan teriakan-teriakan penuh kematian, juga suara angin dari ayunan puluhan pedang. Sungguh, ia bisa merasakan itu semua. Namun yang membuatnya semakin ketakutan adalah bau darah yang begitu tajam, hingga mengalahkan bau laut yang sudah begitu diakrabinya hari-hari terakhir ini. Ia pun terkencing-kencing karena ketakutan itu… Kapal tuannya tiba-tiba terbakar. Namun sampai lama ia tetap bersembunyi di situ, tanpa bergerak dan hanya bernapas pendek. Seakan bunyi napasnya dapat terdengar orang-orang disekelilingnya. Sampai lama seperti itu. Hingga saat api mulai membesar dan suara-suara kegaduhan itu tak lagi terdengar, ia pun kemudian menguatkan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Ia keluar dengan tangis tanpa henti. Langkahnya begitu penuh ketakutan. Beberapa kali ia terjatuh, tersandung tubuh-tubuh yang telah tergeletak tak bernyawa. Dan saat tengah merangkak pelan-pelan itulah, tiba-tiba kakinya dipegang oleh seseorang. Ia berteriak histeris sambil terus meronta-ronta. Namun pegangan itu begitu kuat. Ia pun mencoba berbalik, memandang siapa yang menarik kakinya. Tapi ia tak bisa melihat siapa itu. Wajah lelaki itu telah tertutup sepenuhnya oleh rambutnya dan juga… darah. Tuannyakah itu? sempat ia berpikir. Atau salah satu anak buah tuannya? Ia sama sekali tak bisa menjawabnya. Ia tak lagi punya keberanian untuk terus menatap mata yang ada di antara uraian rambut itu. Lalu dirasakannya tubuhnya yang kecil itu ditarik. Ia sama sekali tak bisa lagi memberontak. Ia juga tak bisa menahan, ketika tangan kokoh lelaki itu meraih tubuhnya, merobek bajunya, dan mulai menggores punggungnya dengan siwar ditangannya. Ia hanya bisa berteriak-teriak histeris. Entah teriakan ketakutan, atau teriakan kesakitan. Tapi suaranya seakan tertelan oleh bunyi kobaran api yang makin membesar. Ia sama sekali tak tahu apa yang digoreskan pada punggungnya. Ia hanya merasakan keperian yang dalam, dan ketakutan yang menulang. Ia tak bisa menangis lagi dan tak bisa terkencing lagi. Ia hampir tak merasakan ketika lelaki itu kembali mengangkat tubuhnya ke tepi kapal, lalu menyodorkan sebatang kayu untuk dipeluknya, sebelum akhirnya mengangkatnya dan melemparnya ke tengah lautan. Saat itu, ketakutannya telah mencapai puncaknya! Dan ia jatuh di laut, sambil memegang papan itu. Sesaat keperian kembali terasa dipunggungnya, begitu perih. Tapi ia tak lagi berteriak. Matanya mendadak sayu, dan seakan tak lagi bergerak. Ia hanya melihat dengan tatapan kosong kapal didepannya yang semakin terbakar dan terbakar…. Lalu… ia tak mengingat apa-apa lagi. Mungkin ketakutan telah merusak seluruh sel-sel diotaknya atau mungkin ketakutan telah membunuh otaknya. Ia hanya bisa terus bergidik dengan gigi yang terus bergemeretakan. Bahkan ketika beberapa nelayan kemudian berhasil menolongnya, ia tak lagi bisa mengingat apa-apa… Dunia seakan telah terhenti baginya…

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar