Ini seperti
di luar bayangan saya.
Saat pertama
kali menerima telefon dari Imam Muhtarom untuk membicarakan Sriwijaya di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012
(BWCF 2012) dengan tema Musyawarah Agung Penulis penulis Cerita Silat
dan Sejarah Nusantara, saya masih merasa tak percaya. Novel yang sudah dirilis
4 tahun lalu itu, sebenarnya nyaris lenyap dari muka bumi. Bekasnya seperti samar-samar
saja. Namun buku selalu punya nasibnya
sendiri! Jadi saya mengiyakan saja tawaran itu. Awalnya saya kira ini
festival biasa. Namun saat beberapa minggu kemudian, saat saya menerima
proposalnya, ternyata dugaan saya salah.
Selain
pembicara-pembicara senior, ada juga 150 peserta aktif yang diundang. Seluruhnya
penulis-penulis ampuh di nusantara. Apalagi sebulan sebelum acara, saya sempat
bertemu dengan Mas Seno Joko Suyono dan Imam Muhtarom, 2 konseptor acara selain
Mbak Dorothea Rosa Herliani dan Wicaksono Adi, di Omah Sinten, Solo. Dari sini saya mulai merasakan keseriusan yang
tak biasa!
Tiba-tiba
saya merasa tak enak. Saya lihat lagi nama-nama seluruh pembicara, semuanya merupakan
pembicara senior. Saya tiba-tiba merasa kecil sendiri. Saya bahkan sempat
berpikir untuk menjadi peserta aktif saja. Tapi beberapa teman saya yang saya
curhati malah bicara, “Siapa lagi yang sudah menulis Sriwijaya selain saya?”
Teman saya
itu salah. Sebenarnya ada beberapa penulis lagi yang menulis tentang Sriwijaya.
Tapi buku-buku itu memang terbit belakangan.
***
Tanggal 28
Oktober 2012, saya berangkat bersama seorang kawan penulis. Kami sempat
kehabisan tiket kereta, namun segera nekat ke Gilingan untuk mencari travel ke
Jogja. Untungnya ada travel yang segera meluncur, maka terangkutlah kami ke
sana sebelum waktunya. Kami jadi bisa hadir di acara pembukaan BWCF 2012 yang
diadakan di Hotel Royal Ambarukmo. DI sini saya pertama kali bertemu dengan
Mbak Yuke Darmawan, ketua panitia acara, yang membuat kami terpana sejenak... J
Acara cukup
menarik. Ada pemutaran film Sapardi Joko
Damono oleh Yayasan Lontar. Awalnya yang diagendakan sebenarnya sosok Umar Kayam,
namun karena satu dan lain hal film tersebut diganti. Ada juga presentasi Borobudur
dari Toni Tack, dan yang paling ditunggu adalah penampilan dari Ayu Laksmi.
Pukul 17.00
wib acara selesai. Kami semua segera berangkat ke Borobudur. Tujuan pertama adalah Rumah Budi. Walau namanya ndeso,
tapi hotel etnik ini yang keren sekali. Di situlah acara selamat datang digelar.
Saya bertemu lagi dengan Nassirun Purwokartun (penulis Penangsang) yang juga
sama-sama dari Solo, juga Hermawan Aksan (penulis Niskala) yang dulu pernah saya temui di Ubud Writers and Readers
Festibval 2010. Saya juga berkenalan dengan penulis-penulis baru seperti Fatih
Zaim (penulis Jawara) dan Berlian Santosa
(penulis Chan Pi). Namun sayangnya, saya
harus perpisah dengan teman-teman yang hamper seluruhnya menginap di Rumah Tingal. Bersama beberapa senior
lainnya, saya dibawa di Hotel Manohara, yang letaknya tepat di kaki Candi
Borobudur.
Kamar saya ada
di posisi paling ujung. Nomor 13. Bila malam suasana sekitar gelap sekali.
Sepi. Tapi saya suka kamarnya. Suasana candi terasa sekali. Ada sebuah buku
besar tentang Borobudur yang sengaja di buka. Halamannya yang terbuka kala saya
datang adalah halaman 158. Dan saat saya meninggalkan kamar itu, saya sengaja
meninggalkan posisinya di halaman 9. Itu angka keberuntungan saja… :)
Esoknya acara
dimulai pukul 09.00 wib. Sebelum acara mulai saya bertemu dengan banyak penulis.
Wajar toh semua undangan memang penulis. Ada Mas Arswendo Atmowiloto, Setiyono
Djunaidi (penulis Glonggong), Rahmad
Widada (penulis Gadis-gadis Amangkurat),
Putra Gara (penulis Samudra Pasai), sastrawan
senior Beni Setia, Mbak Dhewiberta dari Bentang, Mbak Windri dari Tiga
Serangkai, dan Mas Reno dari Noura.
Sesi pertama
dimulai dengan diskusi Imajinasi dalam
Ruang Kosong Sejarah Nusantara. Pembicaranya: Arswendo Atmowiloto, Romo
Budi Subanar, Sutrisno Murtiyoyo. Karena diskusi pertama, peserta begitu
membludak. Beberapa orang saya lihat bahkan sampai berdiri di belakang.
Diskucinya pun lancer dan ringan. Mas Arswendo seperti biasa tampil dengan
cuek. Beberapa kata-katanya bahkan kemudian ditiru oleh pembicara lainnya,
‘Saya bisa menjawab semua pertanyaan. Soal benar atau tidaknya, saya gak tahu.” :)
Lalu disusul dengan
sesi kedua, Kontroversi Gajah Mada dalam
Perspektif Fiksi dan Sejarah. Dengan pembicara-pembicara Agus Ari Munandar,
Langit Kresna Hariadi dan Jakob Sumardjo. Menurut saya ini adalah sesi yang paling
seru. Badai pertanyaan dan analisa terus terjadi sepanjang acara. Semua
sepertinya berlomba-lomba bicara tentang Gajah Mada. Beberapa peserta aktif menceritakan perihal
Gajah mada dari versi yang mereka tahu dari folklor-folklor yang beredar selama
ini. Alhasil sejarah tempat lahir dan makam Gajah Mada jadi seperti beredar di
penjuru nusantara. Seorang peserta juga menyinggung tentang Perang Bubat dengan
cara yang emosional. Namun untungnya moderator Viddy AD Diary cukup santai
menanggapi ini dengan kelakarnya.
Malamnya saya
datang ke Rumah Buku Dunia Tera.
Karena para senior yang sehotel dengan saya tak ada yang tertarik datang di
acara itu, maka hanya saya seorang diri yang dijemput oleh Mas Lilieh Rio. Hal
ini berlangsung juga di hari-hari berikutnya.
Ada 2 acara
malam itu. Pertama bedah buku Walisongo
tulisan Damar Shasangka. Tapi berhubung penulisnya sakit, maka editor sekaligus
pemilik Penerbit Dolphin, Salahudin
GZ yang tampil solo. Ini pertama kalinya saya ketemu dengan Bang Sala yang
selama ini saya temui di fb. Setelah itu acara peluncuran 3 buku dari penerbit
Diva. Api Menoreh - Budi Sardjono, La Galigo - Dul Abdurahman, dan Sabda Palon dan Noyo Genggong - Ardian Krisna.
***
Keesokan
paginya adalah sesi saya: Sriwijaya dalam
Novel dan Arkeologi. Sebenarnya
semalam beberapa teman mengajak untuk ngontel
ke Borobudur, namun karena memikirkan sesi ini, saya mengurungkan niat. Jujur
saja, sedikit, saya nervous juga. Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu
penulis favorit saya. Hampir seluruh bukunya saya baca. Bahkan beberapa bukunya
ada yang saya beli sampai dua kali, karena buku pertama sudah lecek terlalu
banyak dipinjam. Sebenarnya saya pernah memoderatori Mas Seno di salah satu
acara Mengenang Kho Ping Hoo sebulan
lalu. Saat itu, saya sempat urung meminta tanda tangan karena kehilangan
kata-kata di depannya. Untunglah kali
ini saya tak kehilangan kata-kata lagi, sehingga buku Nagabumi itu akhirnya
ditandatangani J
Pembicara
lainnya Bambang Budi Utomo adalah seorang arkeolog yang kerap sekali menjadi
nara sumber di beberapa media. Tulisan tentang Dharmasraya di Majalah Tempo,
yang saya petik di Pandaya Sriwijaya,
bahkan merupakan hasil dari wawancara
dengan beliau.
Saya tak tahu
apakah saya cukup berhasil membawakan materi. Terlebih yang dibicarakan di
forum memang tak terlalu sama dengan paper yang saya kirim. Untungnya moderator Prof Timbul Haryono, walau sudah cukup sepuh, ternyata cukup lucu. Saya jadi merasa tak mau
kalah. Beberapa teman yang mencandai saya sebagai keturunan Itsing, membuat
saya kemudian membuka sesi saya dengan ucapan, “Perlu klarifikasi sebentar.
Saya penulis dari solo saja, bukan keturunan Itsing…”
Paper lengkap
bisa dibaca di posting setelah ini.
Sesi keempat adalah
Kontroversi Syeik Siti Djenar dalam
Sastra dan Agama. Acara ini sebenarnya bisa jadi sangat kontroversi. Tapi
ternyata acara di luar dugaan. Moderattor dianggap terlalu banyak menyimpulkan
materi, sehingga beberapa senior yang tepat berada di belakang saya meminta
seorang panitia untuk mengirimkan memo agar segera dibuka sesi tanya jawab. Tapi karena waktu yang sudah
sangat sedikit, sesi tanya jawab hanya berlangsung 1 kali termin. Saat acara
selesai beberapa peserta mempertanyakan kenapa
dipilih 3 pembicara yang ada dalam satu aliran. Saya hanya mengangkat
bahu, tak mengerti.
Malamnya di Dunia Tera, acara pertama dibuka dengan launcing
buku Majapahit tulisan Langit Kresna
Hariadi. Perdebatan tentang bagaimana sebuah novel dapat disebut novel sejarah
kembali meruak. Permasalahan ini sebenarnya sudah terungkit sejak sesi pertama
di hari pertama. Seorang peserta aktif kala itu, bahkan secara tegas meminta harus
ada point-point tertentu agar sebuah novel layak disebut sebagai novel sejarah,
bila tidak pembaca akan menjadi korban. Tapi tentu saja para penulis menolak.
Beberapa bahkan sempat mengatakan penulis tidak bisa dikekang oleh
aturan-aturan seperti itu. Sampai acara ini selesai, perdebatan tentang hal ini
sepertinya tidak terakomodasi.
Acara kedua
adalah launching buku puisi Manusia Gilimanuk
- Mas Putu Fajar Arcana. Ada musikalisasi beberapa puisinya oleh Yolanda. Wayan
Jengki juga sempat membacakan puisinya dengan suara yang keras tanpa mike. Saya
membeli bukunya karena berhadiah CD. Dan akhir2 ini CD itu kerap sekali saya
putar…
dalam ruang matamu
aku ingin berlayar
dengan perahu
yang kurakit
dengan serat jiwaku
aku ingin berlayar
dengan perahu
yang kurakit
dengan serat jiwaku
Bayangkan saat
mendengarnya, seorang perempuan manja tengah berbisik padamu…:)
***
Di hari ketiga
keadaan sudah lumayan santai. Pagi dibuka dnegan berjalan-jalan di Candi
Borobudur. Tak banyak peserta yang ikut, karena beberapa di antaranya sudah ke
sana di hari-hari pertama. Dari Hotel Saya Manohara, hanya perlu 5 menit untuk
sampai di bagian bawah candi.
Sesi kelima SH. Mintarja dan Matara, dibuka dengan
pembicara Otto Sukatno, Supratikno Raharjo dan Teguh Supriyanto. Kisah-kisah
maestro silat nusantara ini, membuat saya ingin membaca Naga Sasro & Sabuk
Inten. Jujur saja selama ini saya memang melewatkan buku ini. Saya telah
terbuai dengan Kho Ping Hoo, sehingga lebih memilih mencari judul-judul Kho
Ping Hoo lainnya dari pada mencari penulis yang lain. Dari seorang teman
berujar untuk mendapat seri lengkap Naga Sastra itu konon butuh 3 juta rupiah.
Acara ini kali ini tak lagi seramai di hari pertama dan kedua. Keadaan mulai
sepi. Beberapa peserta telah pulang. Hal ini juga terjadi di sesi keenam Napak Tilas Nusantara.
Padahal ini
adalah sesi yang paling saya suka. Menampilkan Aan Permana Merdeka (penulis Perang Bubat), yang beberapa kali
mengawali pembicaraan saat sarapan bersama saya dan bapak Jakob Sumardjo. Di
sini baru saya ketahui Bapak Aan melakukan napak tilas di Jawa Barat untuk
membuat novelnya dengan menjual sebuah mobil. Tapi yang paling mengagumkan
adalah upaya Hadi Sidomulyo saat mempresentasikan napak tilasnya. Nama aslinya
Nigel Bollough tapi ia memilih memakai nama Jawanya. Orangnya halus. Entahlah peneliti-peneliti
budaya Jawa yang saya temui, selalu punya karakter seperti itu. Bahkan sepertinya
lebih halus dari orang Jawa sendiri. Di sini beliau meruntut perjalanan Mpu
Prapanca yang diangkat dari Serat Negarakertagama. Semua tempat-tempat yang
disebutkan di serat itu didatangi oleh beliau. Semuanya bahkan disertai dengan
foto-foto terkini. Tak heran kami semua hanyut dalam sesinya. Saat waktu buat
beliau habis, sebenarnya saya ingin sekali berteriak supaya moderator
menambahkan waktu untuknya.
Hal ini sama
yang terjadi di pembicara ketiga Fendi Siregar. Beliau menapaktilasi tempat-tempat
yang termaktub dalam Serat Centini. Mungkin karena beliau juga seorang
fotografer, foto-foto yang dipresentasikan sangat berbeda dengan lainnya. Narasinya
pun sedikit emosional. Ada kekalahan, ada ketakberdayaan, dan ada kesedihan. Satu
petikannya pada foto perempuan yang tengah menayub, “Saat nayub, saya meminta suami
saya mengantarnya sampai di ujung jalan saja. Saya tak ingin suami melihat kala
saya menayub…”
Satu
kesimpulan setelah presentasinya selesai adalah: semua tempat yang disebutkan
dalam serat Centini ternyata terdapat sebuah makam! Pak Fendi bahkan menantang
para penulis untuk menulis kisah-kisah ini, karena begitu penuh drama.
Sunguh, saya
suka sekali sesi keenam ini. Menurut saya ini sesi terbaik dari semua sesi yang
ada. Banyak sekali yang saya dapatkan di sesi ini. Kelak saya berharap bisa
bertemu lagi dengan keduanya. Minimal menemukan buku-buku yang ditulis oleh
mereka berdua.
Selesai sesi
ini kami kemudian pulang untuk melanjutkan di acara penutupan berlangsung di
Sheraton Hotel, Yogyakarta. Sebenarnya
saya masih direncanakan pulang kembali ke Manohara setelah itu. Tapi 2 kawan
saya lainnya malah mengajak saya agar langsung pulang saja.
Acara
penutupan berlangsung sangat mewat. Agenda terpentingnya adalah pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan kepada
SH. Mintardja. Namun saying, di acara pamungkas ini hujan ternyata tak bisa
diajak kompromi. Kami pun berhampuran. Kami memutuskan pulang karena harus
melanjutkan perjalanan ke Solo. Namun kami terjebak di kanopi Sheraton. Dari
kanopi Sheraton menuju jalan besar bukanlah jalan yang pendek. Untunglah, ada
seseorang peserta yang baru saja meminjam mobil panitia, alhasil kami pun dapat
diantar olehnya. Sialnya saat sampai di pos polisi, ia ternyata lupa membawa
kartu parkir. Jadi kami pun terpaksa turun di depan gerbang.
Di perjalanan
saya berpikir, semoga festival ini bisa terus ada. Rasa lokalitas dan atmosfer
budaya begitu terasa dari awal hingga akhir, tanpa perlu merasa terjejali oleh
hal-hal berbau normatif.
Terima kasih buat
panitia yang sudah membuat acara luar biasa ini.
***
foto pertama koleksi panitia
foto keempat koleksi Berlian Santoso
foto ketiga koleksi Arman Az
foto lainnya koleksi pribadi
Kereeeenn, mas.kemaren diajak mbak truly buat datang ke sana sebagai peserta. eh tapi kan saya ngga dapet undangannya XD
BalasHapus@orybun: gak papa, acaranya kan buat umum. emang ada peserta aktif, tapi banyak juga yang sekedar datang untuk nonton... :)
BalasHapus