Perdebatan sengit pernah terjadi antara Slamet Muljana dengan Soekmono pada 1970-an mengenai letak dan tafsir sejarah kerajaan Sriwijaya. Soekmono menengarai bahwa letak Sriwijaya ada di Jambi tapi Slamet Muljana percaya bahwa Sriwijaya terletak di Palembang. Masing-masing pendapat itu memiliki argumentasi kuat meski tidak komplet. Slamet Muljana menyandarkan pendapat mengacu pada informasi G. Coedes (1918) mengenai nama Shih-li-fohshih sebagai nama Sriwijaya. Nama itu muncul dalam prasasti Linggor. Penetapan letak Sriwijaya di pelembang dikuatkan pada pendapat Samuel Beal (1883).
Informasi mengenai Sriwijaya memang sedikit. Berita Cina menjadi andalan dan pembacaan-penafsiran terhadap prasasti. I-tsing dengan Memoire dan Record masih jadi acuan penting untuk menggali informasi tentang Sriwijaya. Misteri dan informasi tak komplet mengenai Sriwijaya justru jadi pemicu bagi Yudhi Herwibowo menggarap novel Pandaya Sriwijaya: Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya (Bentang, 2009). Novel ini tidak diklaim sebagai novel sejarah tapi mengandung bumbu dan aroma sejarah. Unsur fiksi jadi menu utama untuk mengantarkan pembaca pada imajinasi Sriwijaya.
Pengarang memanfaatkan beberapa kepustakaan untuk membuat novel ini jadi ramuan lezat dan memikat. Pelacakan kepustakaan tentang Sriwijaya memang susah tapi pengarang sanggup mengolah pelbagai informasi dengan cair dan elastis. Novel ini dominan fiksi dan menggarap fakta dalam kadar terbatas agar tidak mengesankan risalah sejarah. Novel dengan acuan sejarah memerlukan pencanggihan tanpa harus tunduk dengan prosedur keilmuan sejarah. Imajinasi jadi pertaruhan memunculkan impresi atas misteri sejarah Sriwijaya.
Novel ini tidak dibiarkan sekadar sebagai selebrasi fiksi. Pengarang memakai buku-buku otoritatif sebagai landasan pemahaman sejarah. Pembaca novel ini bisa melakukan pencocokkan atau klarifikasi dengan memeriksa kepustakaan pada halaman akhir: Sriwijaya (2005) oleh Slamet Muljana, Sejarah Sumatra (2008) oleh William Marsden, Nusantara: Sejarah Indonesia (2008) Bernard H.M. Vlekke, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara (2008) oleh Adrian B. Lapian, dan lain-lain.
Novel ini dibuka dengan pencantuman tulisan di Prasasti Kedukan Bukit: “Bahagia! Pada tahun Saka 605 hari kesebelas, bulan terang bulan Waisaka, Dapunta Hyang naik di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan Jyestha, Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati. Pada hari kelima dari bulan terang bulan Asada dengan lega dan gembira datang membawa wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap ...”
Tulisan tersebut memiliki makna penting untuk membuka tabir sejarah Sriwijaya. Prasasti itu menjadi bukti perang atau penundukkan oleh Sriwijaya terhadap kerajaan-kerajaan lain dan penguasaan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional pada abad VII Masehi. Lakon perang, konflik kekuasaan, penaklukan, dan intrik politik-ekonomi menjadi ruh dalam novel Pandaya Sriwijaya. Pengarang kentara memiliki tendensi menyuguhkan cerita seru dalam adegan perkelahian atau perang dan penggambaran sosok-sosok ksatria. Perihal ksatria menempuh ilmu di perguruan dan adegan perkelahian-perang dalam pelbagai konflik berdarah menjadi kekuatan novel ini. Menu ini jadi bukti bahwa Pandaya Sriwijaya tidak diniatkan sebagai novel sejarah.
Pandaya adalah gelar bagi orang terpilih untuk bergabung menjadi pengawal istimewa kerajaan Sriwijaya. Gelar diberikan jika seorang pendekar berhasil mengalahkan semua musuh dalam suatu gelar pertandingan. Tradisi pemberian gelas dalan model lama dilakukan pada setiap ulang tahun Dapunta Hyang (pemimpin Sriwijaya). Tradisi itu berubah ketika kerap terjadi kekisruhan pemimpin Sriwijaya di Bhumijawa. Pandaya merupakan impian bayak orang. Pandaya bisa mengubah derajat dan nasib meski harus mempertaruhkan nyawa. Harga diri pandaya di Sriwijaya seperti puncak kehormatan untuk pendekar dengan ilmu tinggi dan mumpuni.
Pengarang dengan jeli dan memikat menampilkan tokoh-tokoh dengan latar ilmu pendekar dengan masing-masing kekuatan. Novel ini pun tanpa tanggung-tanggung mengisahkan banyak tokoh (karakter) untuk menghidupkan cerita dengan latar sejarah Sriwijaya. Ada sekitar 60 tokoh (karakter) dihadirkan dalam novel setebal 456 halaman. Pengarang dengan canggih membuat deskripsi-deskripsi pendek untuk memberi informasi penting pada pembaca tentang asal-usul dan peran tokoh. Deskripsi dilakukan mulai dari tokoh raja Sriwijaya (Balaputradewa) sampai bajak laut.
Pembaca mesti memiliki ingatan kuat dan khusyuk menikmati novel ini agar tak kehilangan ritme. Pengarang menempatkan adegan-adegan seru dalam pelbagai bab untuk memberi impresi pada pembaca. Rasa penasaran dan gemreget bakal menggoda pembaca untuk menemukan titik-titik hubungan antara tokoh dan pemunculan peristiwa-peristiwa penting. Novel ini memukau tanpa pretensi untuk menjadi novel sejarah dengan keketatan data dan sibuk dalam narasi politik. Novel ini justru menghidupkan imajinasi Sriwijaya dalam mode mutakhir seperti orang menonton film-film kolosal tentang sejarah dinasti-dinasti di Cina.
Novel ini telah mengambil peran mengisi khazanah kesusatraan Indonesia modern dengan pilihan sejarah Sriwijaya. Dominasi novel-novel sejarah atau beraroma sejarah selama ini masih didominasi dengan sejarah kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Yudhi Herwibowo tanpa ragu mengajukan diri untuk jadi memberi warna lain dalam pembacaan sejarah Nusantara melalui novel. Imajinasi bisa menjadi pilihan membuka tabir dan ikut menafsirkan sejarah tanpa tunduk dengan klaim ilmu sejarah. Novel adalah bentuk elastis dalam mengisahkan sejarah tanpa harus jadi sumber sejarah. Begitu.
tulisan dipetik dari buku MACAISME! tulisan Bandung Mawardi. Buku ini merupakan buku kumpulan 99 resensi dari Bandung Mawardi. Untuk pemesanan buku MACAISME! dapat langsung menghubungi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar