swasti cri cakrawarsatita 605 ekadaci cu klapaksa wulan waicakha dapunta hyang najik di samwau mangalap siddhayatra di saptami cuklapaksa wulan jyetha dapunta hyang marlepas dari minanga tamwa mamawa yang wala dua laksa ko dua ratus cara dismawau dengan jalan sariwu tlu ratus sapulu dua wanyaknya datang di matadanau sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan asada laghu mudita datang marwuat wanua criwijaya jaya siddhayatra subhiksa…
bahagia! pada tahun saka 605 hari kesebeçlas dari bulan terang bulan waisaka Dapunta Hyang naik di perahu melakukan siddhayatra. Pada hari ketujuh dari bulan terang bulan jyestha Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa tentara dua laksa orang dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu 312 banyaknya, datang di matadanau dengan senang hati, pada hari kelima dari bulan terang bulan asada dengan lega gembira datang membuat wanua Sriwijaya melakukan perjalanan jaya dengan lengkap…
(Prasasti Kedukan Bukit)
1
Bayi yang Lahir Dengan 3 Tangan
Jauh sebelum hari itu, lebih dari 20 tahun yang lalu, sungguh, hari juga pernah terlahir tanpa tanda. Semuanya seakan sangat biasa. Angin tak berhembus, daun tak bergoyang, dan awan tak bergerak. Sungguh, sebuah hari yang begitu biasa, hari yang tak mungkin diingat. Namun jauh dari tanah Telaga Batu, di Desa Tebu Nangga, kejadian tak biasa baru saja terjadi. Desa yang hanya berisi tak lebih dari 20 keluarga itu, seakan sontak menghentikan seluruh kegiatannya. Mereka berduyun-duyun merubung sebuah rumah talang, atau rumah yang dibangun di atas tanah dengan bertumpu pada empat batang kayu kepala, yang terletak di ujung desa. Disitulah, Bayak Kungga baru saja melahirkan seorang cucu. “Aren sudah beranak,” seorang berujar dengan berbisik pada seorang yang baru datang. “Tapi anaknya tak biasa,” tambah yang lain. Ya, bayi yang dilahirkan Aren Suwa, anak dari Bayak Kungga, memang lahir tak biasa. Bayi itu bertangan tiga. Di pangkal tangan kanannya, tepat di bagian pundak, ada sebuah tangan kecil lainnya yang nampak tak bertulang. Bayak Kungga hanya bisa memandang tak mengerti. Berkali-kali disentuhnya tangan itu dengan tangannya yang kasar. Aren Suwa mencoba mengangkat kepalanya dari pembaringannya yang hanya terbuat dari anyaman tikar. “Abah,” ia menyentuh tangan ayahnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi selain itu. “Ambilkan parang!” tiba-tiba Bayak Kungga, tanpa melepas pandangannya dari tangan ketiga bayi itu, berucap pelan entah pada siapa. Aren Suwa memandang ayahnya dengan tatapan penuh duga, “Abah, kau… kau mau apa?” Tak ada jawaban. Suami Aren Suwa, Tansa Kaluh, mendekat sambil menyodorkan sebilah parang. Bayak Kungga lalu mengangkat tubuh bayi itu dengan gerakan perlahan. Lalu ia berjalan menjauh dari pembaringan dimana anaknya berbaring. Tak ada yang bicara lagi saat itu. Beberapa saudara dekat yang ada di dalam rumah juga tak bereaksi. Semua mata tertuju pada Bayak Kungga yang diam cukup lama. Namun akhirnya, lelaki tua itu pun mulai mengangkat tangan ketiga bayi itu, yang tetap terdiam tanpa reaksi. Semua yang ada disitu seketika menahan napas, seakan bisa menduga apa yang akan dilakukan lelaki yang juga menjadi tetua di datu ini. Lalu dengan gerakan yakin, Bayak Kungga tiba-tiba sudah menggerakkan parang ditangannya, memotong tangan ketiga bayi itu. Darah seketika memuncrat, seiring tangisan bayi itu yang pecah seketika. Aren Suwa meraung histeris. Ia berusaha menggapai bayinya, namun suaminya mencoba menenangkannya. Sampai beberapa saat, tak ada lagi yang bicara di dalam rumah itu. Semuanya diam, membiarkan tangis bayi itu mengisi ruangan. Juga membiarkan darah yang mengotori lantai bambu itu perlahan mulai menetes jatuh ke bawah, membuat para penduduk yang sedari tadi menunggu di bawah semakin menduga-duga. “Ia akan mati…“ salah seorang saudara, yang berdiri di tepi pintu rumah, berbisik entah pada siapa. “Ya, ia pasti akan mati, bila ia hanya bayi biasa,” Bayak Kungga menjawab ucapan itu sambil memandang sosok yang berucap tadi. “Tapi,” tambahnya, “bayi yang lahir dengan tiga tangan, tentulah bukan bayi biasa…” Dan tak ada yang membantah ucapan itu.
*****
sadisss.. napa gak d oprasi aja sih... kasian bayinya.. :'(
BalasHapus@saga : iya nyari efek dramatisasiii sagaaaa... :)
BalasHapus