Bermula dari Sriwijaya
Oleh Beni Setia
Suara Karya, Sabtu, 10 April 2010
AWAL dari fiksi berlatar Sriwijaya setebal xiv + 454 halaman ini, lihat Yudhi Herwibowo, Pandaya SriwijayaTTK2 Dendam dan Prahara di Bhumi Sriwijaya, Sebuah Novel, Bentang Pustaka, September 2009-adalah cinta buta Pramodawardhani, putri pewaris tahta Samaratungga dan keponakan Balaputradewa, si pemangku estafet trah Sailendra. Yang memutuskan menikah dengan Jatiningrat, keturunan Sanjaya, hingga kuasa atas Mataram kuno dan Sriwijaya akan jatuh ke tangan trah Sanjaya, spontan patriarki bukan milik trah Sailendra lagi.
Dan krisis legitimasi kuasa trah memuncak saat Samaratungga wapat dan tahta jatuh pada Pramodawardhani tak peduli Jayaningrat bernadar hanya akan konsentrasi pada meditasi mencari pembebasan duniawi. Dan atas pertimbangan mempertahankan kuasa tetap di garis patriarki trah Sailendra Balaputradewa adik Samaratungga serta paman Pramodawardhabi "berontak" dan "ditumpas" di Desa Iwung. Sebuah momen kekalahan dan pembantaian yang jadi trauma, terutama setelah ia "dihukum buang", dengan jadi raja Sriwijaya di Sumatra selatan, nun di seberang Bhumijawa.
Keberkuasaan di pengasingan yang selalu dianggap sebagai kekalahan total trah Sailendra, yang memicu obsesi pribadi ingin menyerang dan menaklukkan Mataram Sanjaya. Ide penaklukan yang tidak pernah kesampaian karena beberapa datu (negara) jajahan Sriwijaya di Sumatra, beberapa anak-anak trah penguasa setempat di Sumatra terusik kelemahan hegemoni penguasa Sriwijaya, bermimpi bebas, dan berkonspirasi memberontak. Itu latar, konteks dan titik tolak novel Yudhi Herwibowo, fakta krisis hegemoni Sriwijaya, datu Telaga Batu, sekaligus nostalgia kejayaan masa lalu yang ingin dibangkitkan lagi saat melihat pelemahan hegemoni datu Telaga Batu.
* * *
IDE makro itu dikongkritkan di tingkat mikro dengan cerita tentang Biksu Wang Hoi di Sumatra, yang tersisa dari si sepasang pendekar Liang Qiang. Pasangan yang cape mengarungi kang-ouw, lembah air mata dan darah, dengan memilih mundur dari keramaian. Sayang niat itu gagal karena seluruh musuh bersatu, mengeroyok mereka. Si istri mati, sang suami memutuskan jadi biksu dan mengembara sebagai pendakwah ajaran Buddha. Bersua Tunggasamudra, anak dengan kelainan fisik, lahir dengan tiga buah tangan, dan selamat dari hanyut disapu banjir, yang diangkatnya jadi murid.
Yang menarik, semua tokoh kunci novel memiliki pertanda alam dan fisik yang luar biasa. Wantra Santra, kepala pasukan rahasia (intel) Sriwijaya adalah anak yang lahir saat letusan gunung berapi dan selamat sehingga diangkat anak oleh Mahak Ilir. Penguasa datu Minanga Tanwa. Keturunan sah Kerajaan Melayu yang memberontak, dikalahkan, dan minta imbalan balas budi untuk menuntaskan dendamnya kepada si penakluk: Abdibawasepa.
Panglima Sriwijaya yang difitnah Wantra Sentra, yang lari dan menjadi bajak laut. Kara Baday, anak Abdibawasepa, si pewaris Abdibawasepa, yang ditarik jadi panglima muda Sriwijaya setelah mencari jasa memusnahkan bajak laut yang lain, sebelum dikorbankan Jaraq Sinya, penglima angkatan laut Sriwijaya
Lantas Agiriya dan kemudian Sangda Alin, putri Ih Yatra, penguasa datu Muara Jambi yang berontak, gadis tomb boy dan tubuhnya meruapkan wangi bunga. Magra Sekta yang dikutuk memiliki kemampuan clairvoyance bisa melihat nasib orang lain dengan memandang.
Cahyadawasuna, anak penguasa Talang Bantas yang meninggal karena sakit dan kadatuannya musnah ditimbun debu gunung meletus, seperti nasib Mataram kuno. Tokoh ini meminum air rendaman Bunga Sukmajiwa, dan ia selamat dari bencana tertimbun lava dingindengan bersemedi 13 hari, kemudian ia diangkat jadi penasehat Balaputradewa.
Dan cerita berkelindanan di antara mereka. Balaputradewa, sebagai si penerima tongkat estafet trah Sailendra,yang merasa dikalahkan secara halus oleh trah Sanjata, dan ingin memerangi Mataram kuno di Jawa. Kara Baday yang ingin membersihkan nama baik ayahnya, yang difitnah berontak pada Sriwijaya sehingga mau melakukan apa saja, dan mati sia-sia di tangan Tunggasamudra setelah ia merasa dikhianati oleh Jara Sinya. Jara Sinya yang melakukan apa saja demi keagungan Sriwijaya, seperti Wantra Sentra khilaf mengiyakan tuntutan balas budi Mahak Ilik, dengan memfitnah Abdibawasepa. Atau Agiriya yang dendam sebab keluarga dan perguruannya dibantai kelompok Wantra Sentra. Dan tentu saja ambisi Mahak Ilik, Ih Yatra dan Panglima Tambu Karen yang berilusi ingin jadi penguasa dengan berontak KRGpadaKRG Sriwijaya.
* * *
SEMUA kait berkait, meski buku tebal ini mengesankan hanya satu penggalan dari sebuah serial, yang seharusnya ada awalan dan ada akhirannya, tak bisa ditutup dengan kesadaran Budhis Balaputradewa yang kembali terkenang kepada banjir darah pembantaian dari pemberontakannya yang kalah, sekaligus perasaan sedang berkukuh dengan harga diri semu duniawi karena Pramorawardhani itu telah menyerahkan tahta Mataram dan Sriwijaya padanya supaya bisa bebas bermeditasi. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara hidup lain, yang lebih sederhana tetapi tentram tanpa ilusi kekuasaan dan keberkuasaan?
Semua berkelindan, sekaligus membelit serta menjerat seperti jaring laba-laba, sebagaimana Tunggasamudra yang tiba-tiba ada dalam gebalau dendam, prahara dan cinta. Di penghujung cerita, setelah menyampaikan berita kematian Kara baday pada kekasihnya, Aulan Rema, ia memilih terlepas dari kilau dunia dan sekaligus terbebas dari gebalau duniawi, memilih jalan sunyi yang damai dan mensejahterakan orang lain. Sebuah pencerahan Budhistik yang sangat indah, dengan latar Sriwijaya tapi ada banyak jurus Mandarin yang tidak bersipat Sriwijaya tapi, hal yang tak terhindarkan karena kita terbiasa dengan teks dan budaya silat China dan Jepang. Sekaligus sebuah janji: akan ada cerita petualang Tunggasamudra berikutnya.
Karena, konteks kejiwaan yang sudah terbentuk sayang kalau tak dilanjutkan.
***
link : http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Budaya